Aku sedang mengamati rambutku yang baru. Dicukur pendek sebahu. Kabar gembiranya aku masih tetap cantik dan justeru terlihat modern, seperti wanita-wanita di jamanku. Padukaliku dan Galuh Ajeng barangkali sudah berpikir bahwa mereka menang. Yah, walaupun kuakai dalam urusan hasut-menghasut mereka lebih mumpuni, tapi sejatinya hukuman mereka tak berarti apa-apa. Kalau aku Sekartaji, mungkin aku akan berpikir duniaku telah hancur. Tapi aku Jovanka Imelda. Wanita modern dari dunia modern. Berambut pendek tidak mengurangi nilaiku sebagai perempuan.
“Bahaya, Yang Mulia!” Patih Mertani menemui Raja Jenggala, “Raden Inu Kertapati... dia... anu... Raden Inu Kertapati....”
“Ada apa, Patih Mertani? Bicara yang benar!”
“Raden Inu Kertapati membawa seluruh pasukannya di pintu gerbang.”
“Apa? Beraninya anak kecil itu menyerangku! Siapkan prajurit dua kali lipat. Kita buktikan mana yang lebih unggul, Jenggala atau Panjalu.”
Aku tidak bisa tinggal diam. Kalau sampai perang terjadi pasti akan memakan korban. Nyawa prajurit itu sangat berharga bagi keluarganya. Hanya karena ego pemimpin tidak bisa dikorbankan begitu saja. Mereka tidak boleh gugur dengan alasan yang tidak jelas.
“Ayahanda Prabu,” aku buru-buru mencegat, “mohon maafkan hamba. Barangkali Raden Inu Kertapati mengkhawatirkan hamba. Dia hanya ingin tahu keadaan hamba, bukan memberontak.”
“Diam kamu!”
Berpikir. Berpikir. Apa yang bisa kulakukan untuk mencegah pertempuran ini? Dasar Inu Kertapati bodoh tujuh turunan. Bisa-bisanya dia datang dengan membawa pasukan hanya untuk sandiwara ini. Seharusnya dia menunggu kabar dariku, bukan malah memancing di air keruh. Memang nyawa pasukannya itu bisa dibeli tokopedia? Ih, gemas!
“Ayahanda jangan gegabah.” Cegahku geragapan, “hamba tidak mau prajurit Jenggala menjadi korban, bukankah Ayahanda tengah merencanakan penaklukkan Kerajaan Gagelang? Kenapa harus membuang energi untuk mereka? Pasukan putra mahkota mungkin jumlahnya hanya sedikit. Tidak mungkin mereka menyerang tanpa perhitungan. Itu sama saja menyerahkan nyawa. Hamba yakin ini hanya salah paham.” Aku mencoba memberi alasan. Tadi saat perjalanan dari rumah ke istana raja ini aku mendengar obrolan Patih Mertani dengan salah seorang Panglima soal rencana raja menaklukkan Gagelang. Jadi, aku bisa memanfaatkan ini untuk menahan amarahnya.