Aku sedang meniup daun pacar kayu tumbuk yang ditempelkan di kuku agar cepat kering saat Dewi Kilisuci datang, berikut juga Raden Inu Kertapati. Mereka menatap nyalang dan aku membalas mereka dengan seringaian bodoh. Dewi Kilisuci hanya menggeleng-gelengkan kepala. Merasa kasihan dan geram sekaligus. Sedangkan Raden Inu Kertapati lebih banyak menunduk, hanya sesekali menatapku. Itupun dengan ekspresi yang sulit kudefinisikan. Entah marah, entah malu, entah masa bodoh, dan entah-entah yang lain. Aku tidak terlalu ambil peduli pada mimik wajahnya.
“Sekarang apa yang akan kamu lakukan?” Dewi Kilisuci mengawali percakapan dengan pertanyaan. Tak ada kalimat pembuka yang berisi basa-basi. Misal, pertanyaan soal hukuman potong rambutku. Atau yang lebih sederhana, bagaimana keadaanku pagi ini. Hubungan kami memang hubungan berjenis platonis. Tak ada kepedulian dan ketulusan. Semua serba pragmatis. Aku diuntungkan apa kalau melakukan ini. Aku dirugikan apa jika tidak melakukan itu. Yah, hanya seperti itu. Hubungan yang dangkal, kan? Tapi jangan sebut aku Jovanka jika tak bisa membuat onar. Aku adalah mantan siswa wanted guru Bimbingan dan Konseling ketika SMA. Most wanted. Dicari bukan karena melanggar aturan. Tapi, karena aku berprestasi dan tak mau diutus mewakili sekolah dalam even lomba seni. Apa ya dulu namanya? Hng, Festival Lomba Seni Siswa Nasional? Ugh, aku lupa. Pokoknya sejenis itu. Aku diminta ikut lomba membatik dan aku dengan bangga menolaknya.
Sepertinya, ak harus mengoptimalkan bakat bikin onar agar hubungan ini tidak datar seperti papan setrika.
“Bagaimana gaya rambutku? Aku terlihat lebih muda. Iya, kan?” kukibaskan ujung rambut dengan jari-jariku.
Hari ini aku berdandan seperti wanita Mesir. Kalau kalian pernah melihat penampilan Cleopatra di film, nah begitulah gaya rambutku sekarang. Untuk mahkota, aku menggunakan batu permata yang dironce dengan benang. Kuletakkan untaian permata itu melingkar di kepala. Saat bercermin, aku sangat puas dengan hasilnya. Terlihat lebih muda dengan gaya berpakaian putri yang tidak monoton.
“Setidaknya, komentari penampilanku dulu. Jangan menatapku dengan mata kasihan, tapi enggan menghibur. Itu namanya curang!” Kataku sambil bertelekan di atas kursi panjang.
Tapi, niatku memancing amarah mereka tidak berhasil. Dua makhluk yang ternominasi dalam kingdom animalia itu tidak menanggapiku.
“Aku tidak bisa berlama-lama di sini,” Dewi Kilisuci bersiul. Seekor burung elang menukik di atasku kemudian hinggap di lengannya. “Elang ini yang akan menyampaikan informasi dariku. Kalau ada perkembangan, jangan lupa mengabariku untuk menentukan langkah selanjutnya.”
“Baik, Yang Mulia.” Raden Inu Kertapati menyetujui idenya. Kalau melihat sepintas, sepertinya Dewi Kilisuci mau pergi ke tempat bertapanya lagi. Terlalu lama di Jenggala bisa menimbulkan kecurigaan raja dan permaisuri. Salah-salah, dia bisa dituduh ingin merebut tahta kerajaan.
Nah, kalau dia mau kembali ke tempat bertapanya, yang lokasinya entah di mana, aku harus segera bertanya hal-hal yang hanya diketahuinya. Didorong rasa ingin tahu, aku melompat dari kursi, “aku ingin bertanya, Dewi Kilisuci. Jelaskan padaku tentang Sukma Selira.”
Dewi Kilisuci hanya mendesah, “aku tak ada waktu melayani gadis bodoh sepertimu.”
Aku yang biasa dipuji cerdas, bahkan oleh atasanku, aku disebut jenius, langsung melongo mendengar ejekannya.
“Hei. Kalau aku tahu sesuatu, aku tak akan mengabarimu.” Teriakku, mengiringi kepergiannya. Dan, dia adalah Dewi Kilisuci—wanita paling keras kepala yang pernah kutemui. Heran deh. Dalam sejarah dia disebut wanita berhati suci hingga menolak tahta kerajaan karena takut tidak bisa adil. Tapi, lihatlah dia barusan. Setelah menghinaku bodoh, dia bahkan tak meminta maaf. Malah meloyor pergi. Oh ya ampun! Akhlakless.
“Apa yang ingin kamu ketahui?” Raden Inu Kertapati menyadarkanku. Dia masih menatapku, melihat rambutku dari dekat.
Aku segera tersenyum, “bagaimana rambutku sekarang? Bagus?”
Dia hanya menghela napas.
“Di jamanku wanita berambut pendek itu lazim. Bahkan ada yang ekstrim dengan menggunduli rambutnya.” Ceritaku, “kamu tidak berhak menghakimi wanita berambut pendek. Toh, kebaikan hati seseorang tidak ditunjukkan oleh rambutnya.”
Raden Inu Kertapati malah menyentak selendang yang kugunakan menutupi pundak. Selendang favoritku itu robek memanjang. Aku memukul lengannya kuat-kuat. Dia malah memutar dan membawaku dalam pelukannya. Bodohnya, aku malah terpesona karena baru sekali ini aku bisa merasai denyut jantungnya di tubuhku. Dan, di tengah kelengahanku, dia memarik kemben yang kugunakan.
Sial. Sial. Aku menendang perutnya kemudian mundur beberapa langkah.
“Apa aku sudah bilang kamu brengsek?” tanyaku sambil membelakanginya karena membenahi kemben yang nyaris melorot.
“Rambutmu.”
“Hah?” aku membalik tubuh, menatapnya dengan wajah bego.
“Rambut adalah simbol. Sama seperti pakaianmu. Kalau ada orang yang melucutinya, kamu menyebut dia apa?”
“Mesum. Brengsek. Bajingan.”
“Begitu juga kalau ada yang memotong rambutmu.”
Aku menatap Raden Inu Kertapati dengan mata menyipit, “beda. Kamu tidak bisa menyamakannya. Pakaian menutupi aurat. Melepas pakaian seseorang berarti..., “ aku malas bicara serius, bagaimana kalau kugoda saja pria tanpan tapi berwajah es balok ini ya? Oke, ide brilian. “Kalau kamu melepas pakaianku berarti kamu siap tidur di ranjang bersamaku.”
Raden Inu Kertapati malah mendengus sebal. Dia duduk di kursi panjang. Diam di sana. Aku memutuskan untuk duduk di sebelahnya. Berusaha memahami sudut pandangnya soal rambut sampai dia menyamakan rambut dengan pakaian. Betapa rumitnya hidup di jaman ini. Ck!
“Sukma selira....” ucapku, berusaha serius.
Dia menatapku, “ajian itu milik Dewi Kilisuci. Dan, murid-muridnya termasuk aku, tidak ada yang diberi. Mengingat, ajian ini sangat kuat dan berbahaya kalau sampai disalahgunakan.”
“Tapi, Dewi Kilisuci bilang bukan dia yang mengundangku masuk dalam raga Dewi Sekartaji.”
Dia membenarkan. “Dia hanya bisa memindahkan dalam satu jaman. Misal, saat Padukaliku meninggal dunia, dia memasukkan sukma Galuh Ajeng. Dan, fenomenamu..., tidak ada yang tahu. Kamu datang dari jaman yang berbeda dengan kami. Entah dengan cara apa dan bagaimana.”
“Kalau sukma Galuh Ajeng masuk dalam tubuh Padukaliku, apa yang terjadi pada tubuh Galuh Ajeng?” aku langsung ingat jasadku yang kutinggalkan. Apakah baik-baik saja ataukah....