Dari kecil, aku selalu diajarkan untuk mengalah dan bertanggung jawab atas segala kesalahanku dan adik-adikku. Dari dulu aku tidak pernah dibiarkan sendiri dan mengejar apa yang aku inginkan. Ketika mau main sama teman, adikku selalu ikut. Kalau tidak boleh ia akan menangis dan aku akan dimarahi Bunda, kemudian pada akhirnya aku tidak jadi bermain dengan teman-teman.
Sejak aku punya adik, aku lupa rasanya diprioritaskan. Kayaknya, semua orang lebih menganggap keberadaan adikku dibandingkan aku. Semua orang lebih kasihan dengan adikku daripada denganku. Semua orang lebih menjaga perasaan adikku daripada perasaanku.
Sedangkan aku?
Lagi-lagi dihadapkan dengan kalimat:
"Yaudah gak papa. Ngalah aja sama adiknya."
Sudah terbiasa mengalah sejak kecil, aku tumbuh menjadi seseorang yang tidak bisa menolak. Apapun yang Bunda minta dariku, akan ku-iya-kan. Sebab kebahagiaanku gampang, yang penting adikku dulu.
Hingga semakin dewasa, aku terbiasa tak mendapat apa-apa. Terbiasa mengesampingkan diri sendiri dan mengutamakan adik-adikku. Seperti malam itu.
Malam itu Windy---adik tengahku---berulang tahun. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah dan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Bunda membuatkan nasi kuning dengan beberapa lauk. Hanya itu, tanpa perayaan mewah apapun sebab kami hanya keluarga sederhana. Ayahku seorang PNS dan ibukku catering kue.
"Asikk, ada yang mau dapet KTP nih," godaku pada Windy.
Adikku tersenyum geli. "Yaelah cuma KTP doang. Tau gak, ada yang lebih istimewa dari KTP?"
"Apa tuh?" tanya Cloudya, adik bontotku.
"Hari ini bisa makan nasi kuning Bunda yang enaknya gada obat! Mantap jiwa bangettt!"
Suara tawa berderai dan semakin menciptakan atmosfir hangat. Bundaku tertawa sembari merangkul Windy.
"Yaudah iya, nih boleh makan sekalian sama piringnya. Yang lagi ulang tahun mah, bebas!"
"Eh, sebelum makan, kita berdoa dulu. Windy, ayo doa dulu. Ucapin harapan-harapan kamu ditahun dan umur yang baru ini." Ucap Ayah yang membuat masing-masing dari kami berubah menjadi tenang.
Windy tersenyum sembari mengangkat tangan, ia berdoa. "Semoga di umur aku yang ke-17, aku bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi, makin berbakti sama Ayah dan Bunda, bisa berguna bagi orang lain, dan semoga tahun ini aku bisa lolos masuk PTN yang aku inginkan. Amin."
"Amin."
"Sekarang, kita udah boleh makan?"
"Iya udah, haha."
Semua orang mengambil bagiannya masing-masing dan kami menyantap makanannya dengan obrolan ringan. Hari ini sama seperti hari kemarin, cukup menyenangkan. Kami bercerita tentang apa saja, tetapi aku hanya diam. Sesekali tersenyum dan tertawa ketika mendengar cerita. Namun tidak pernah benar-benar bercerita.
"Bun, tau gak, kemarin aku TO buat UTBK nilainya bagus loh!"
"Bagus dong. Emang kamu mau masuk PTN mana?"
"Hm... Aku sih penginnya masuk UI Bun. Kalau enggak, UGM juga asik."
Aku tersenyum dan menimpali ucapan adikku. "Jangan cuma mau besar karena nama universitas, tapi gimana caranya kamu juga harus bisa membesarkan nama universitasnya."
Cloudya menyahuti ucapanku sembari mencomot tempe. "Emang gitu ya Kak?"
"Ih Snow, jangan patahin semangat adik kamu dong." Ucap Bunda.
"Tau nih, Kaka. Akukan jadi down."
Aku tersenyum kecil. "Yaudah maaf."