"Sejak itu, aku janji sama diriku sendiri untuk jagain Bunda dan dua adikku. Aku janji bakal gantiin sosok Ayah. Meskipun aku tau, Ayah gak akan tergantikan."
Virgo menundukkan kepala, membiarkan egonya diredam oleh dirinya sendiri. Malu, Virgo malu dengan gadis di hadapannya.
"Mungkin, setelah ini, jika Bapak dan Ibumu benar-benar pergi, kamu hanya bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Sedangkan aku, aku harus bertangung jawab atas Bunda dan kedua adikku. Aku harus gantiin sosok Ayah untuk mereka."
".... Namun terlepas dari itu semua, aku percaya bahwa setiap peran punya beban dan tanggung jawabnya masing-masing. Aku gak akan ngerti gimana rasanya jadi kamu, begitupun sebaliknya. Tapi menurutku, gak ada salahnya juga kita sama-sama saling menguatkan untuk belajar merelakan. Garis merah di antara kita adalah, kita sama-sama sedang rumpang. Ada yang hilang dari diri kita, dan kita butuh teman untuk saling berjuang. Bersama-sama belajar merelakan."
"Saya malu. Ternyata hidupmu tidak sesempurna yang saya pikirkan. Maaf ya."
Snow tersenyum kecil. "Gak papa kok. Aku juga suka mikir kalau jadi anak tunggal itu jauh lebih enak dari pada anak pertama."
"Ya, ketika kita menginginkan posisi orang lain, tanpa kita sadari ada orang yang sebenarnya menginginkan posisi kita."
"Itulah pentingnya bersyukur."
"Iya, kamu benar. Bahwa apa yang sudah seharusnya hilang, pun akan hilang. Apa yang seharusnya pergi, pun akan pergi. Sisanya, hanya soal belajar merelakan dan bersyukur atas apa yang terjadi. Boleh jadi, Tuhan ingin saya jauh lebih kuat lagi karena itu Ia beri aku kehilangan."
"Iya, Tuhan selalu Maha Baik. Hanya saja terkadang manusia suka Maha Entah."
"Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Untuk ceritanya. Sangat melegakan sekali. Seenggaknya sekarang saya tau, kalau saya gak jatuh sendirian dan mungkin kita bisa bangkit sama-sama. Terima kasih juga, udah baik sama saya."
Snow tersenyum. Hangat rasanya ketika ia bisa diapresiasi. Bahkan, Snow lupa rasanya diapresiasi dan dilihat kebaikannya oleh keluarga sendiri. Seperti.... Semua yang dilihat dari Snow hanya kesalahannya.
Alasannya, sesederhana karena Snow adalah anak sulung.
Virgo dan Snow saling bertatapan, sebelum akhirnya langit berubah warna menjadi merah. Keduanya melebur menjadi sebuah perasaan yang tak mampu diutarakan. Sama-sama pada fase kehilangan. Meredam masing-masing luka yang cukup meradang lara. Sang Fajar datang ketika malam sudah selesai memunguti satu persatu kesedihan yang dilontarkan manusia. Menyimpan segala harap yang akan ia sampaikan pada Tuhan diam-diam.
***
Siang ini, agenda makan siang di rumah belajar berlangsung menyenangkan. Setiap hari selama satu bulan pengabdian, tim relawan akan memberikan makanan bergizi untuk anak-anak di Masamba. Mulai dari kebutuhan karbohidrat, protein, dan lainnya. Seperti biasa, kakak relawan tentu takkan tinggal diam dan melihat anak-anak makan sendiri. Kakak relawan akan membantu anak-anak makan ketika ada beberapa dari mereka yang membutuhkan bantuan, seperti menyuapinya.
Snow baru saja membantu seorang anak yang kesulitan membuka tempat makan. Kemudian gadis itu berdiri dan menyapu pandangan ke arah anak-anak yang lain, barangkali ada yang butuh bantuan juga. Hingga seorang bocah lelaki yang duduk paling ujung dan paling belakang, menarik perhatian Snow. Bocah itu duduk dengan jarak yang cukup terlihat dari barisan belakang. Apalagi, rumah belajar ini luas dan lebih dari cukup menampung anak-anak. Alhasil, tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan jarak.
Snow menghampirinya, karena bocah itu tampak tenang. Tidak seperti teman yang lainnya.
"Hei, mau Kakak bantuin?"
Bocah itu menggeleng, bahkan sebelum menatap Snow. Belum putus asa, Snow masih mencoba mengajaknya bicara.