Snow masih belum cukup pulih. Ia masih berusaha bangkit dari segala kepingan-kepingan masa lalu yang memintanya untuk tetap tinggal. Gadis itu masih berusaha melawan ketakutannya sendiri yang bahkan sampai sekarang belum juga reda.
Rasanya sulit, harus menerima kenyataan bahwa ia bukan sosok yang baik. Ia adalah sosok kakak yang buruk. Perasaan itu terkemas rapi di dalam benak Snow, seakan tidak pernah membiarkan ia egois barang sekalipun. Ketika ia hendak mengikuti apa yang dia inginkan, kenyataan membawanya berpikir ulang mengenai perannya sebagai anak sulung.
Selalu begitu.
Pada akhirnya, Snow memilih tidak melakukannya.
Tangan Snow mengusap bekas jahitan di lengan kanannya. Bekas luka itu tercipta di hari yang sama ketika Clo kecelakaan. Jelas, karena memang tidak hanya Clo yang terluka, Snow juga. Namun, Bundanya tidak memperdulikan itu. Bundanya jauh lebih peduli dengan luka Clo dibanding milik Snow.
Sekali lagi, Bundanya tidak peduli.
Di tengah gelapnya angan yang sedang memenuhi isi kepala Snow, tiba-tiba Adit datang membawa cahaya dan menyibak gelapnya luka. Lelaki itu hadir dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Takut, sangat takut gadis itu kenapa-napa.
Adit memegang tangan Snow yang sedang mengusap pelan luka di lengan kanannya. Hal itu membuat Snow mengalihkan pandangan ke arah lelaki di hadapannya.
"Kenapa sih, pengin banget jadi berani?"
Snow diam tanpa ekspresi wajah selain datar.
"Gak semuanya harus kesampaian sekarang. Sabar, pelan-pelan aja. Terburu-buru hanya membuatmu kecewa. Aku tau, kamu bukan mau mencoba melawan trauma, kamu hanya ingin memberi makan egomu sendiri. Kamu hanya ingin membuktikan ke orang lain bahwa kamu bisa. Nyatanya? Kamu gak perlu membuktikan kepada siapapun."
Snow memejamkan mata sembari menyenderkan tubuhnya di tembok. Gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang.
"Jangan omongin itu dulu ya?" Jawab Snow dengan suara pelan.
Adit tersenyum kecil. "Yaudah iya. Maaf ya, aku cuma khawatir tadi."
"Iya gak papa."
Rumah sedang sepi. Semua orang sedang menjalankam tugasnya masing-masing. Hanya ada mereka berdua di ruang tengah. Membelah keheningan menjadi kata-kata yang akan menyembuhkan luka. Dituturkannya dengan perasaan tulus.
"Padahal, waktu itu tanganku juga luka. Sampai dijahit 3. Tapi, kenapa Bunda gak nanyain kabar aku? Bunda juga gak nanya apa aku udah minum obat atau belum. Bunda juga gak pernah nawarin ke aku mau dibeliin makanan apa biar aku semangat minum obatnya. Padahalkan aku juga anak Bunda. Apa karena aku anak pertama, jadi aku gak pantas dapat itu semua?"
"Kamu hanya melihat apa yang terlihat, tetapi buta terhadap apa yang tidak terlihat dan tidak diperlihatkan. Orang tua itu, pembohong ulung. Mereka pandai sekali menutupi segala hal. Kayaknya tuh, di depan kita mereka A, padahal kenyataannya di belakang kita mereka bisa berubah jadi B, jadi C, bahkan mungkin jadi Z. Kita gak pernah tau apa yang ada dipikiran mereka."
"Tapi apa susahnya nanya sih Dit? Ke anak sendiri juga, apa susahnya?"
"Kamu nanya begitu, sama aja kayak aku nanya ke kamu, apa susahnya ngangkat telpon Bundamu dan ngucapin ulang tahun ke Clo hari ini?"
Sontak, ucapan Adit membuat Snow terbungkam seketika.