"Bunda yakin perhatian ke semua anak-anak Bunda?" tiba-tiba Windy berdiri dan angkat bicara.
Sial, ini benar-benar mala petaka.
"Dari dulu, aku gak pernah ngerasain yang namanya diprioritasin kaya Kaka. Setiap aku minta sesuatu ke Bunda, lagi-lagi Bunda memprioritaskan kebutuhan Kaka. Kaka mau berangkat ngampus, dibuatin sarapan, susu, diingetin kalau ada yang ketinggalan. Sedangkan aku? Padahal aku yang selalu bangun paling pagi, aku yang bantuin Bunda bikin sarapan, tapi selalu aku yang gak dibikinin sarapan sama Bunda!"
Ada jeda sejenak.
"Gak cuma itu. Selain gak diprioritasin, Bunda juga gak seperhatian itu sama aku. Bunda lebih perhatian sama Clo. Clo belum pulang, dicariin. Clo belum makan, ditanyain, orang-orang di rumah ikut pontang-panting supaya Clo mau makan. Clo pulang cemberut, ditanyain kenapa. Kayaknya setiap langkah Clo selalu diperhatikan Bunda. Sedangkan aku, berasa cuma di kasih makan, di kasih tempat tinggal, terus udah. Aku mau ngapain terserah, selagi aku gak malu-maluin keluarga aku anteng-anteng aja."
"... Padahal aku juga anak Bunda, sama kayak mereka. Tapi kenapa aku beda? Kenapa?! Aku juga pengin ditanya kenapa ketika pulang ke rumah dengan keadaan cemberut. Aku juga pengin diingetin kalau ada yang ketinggalan, dibikinin sarapan dan diprioritasin kayak Kaka. Semua terjadi seolah aku gak ada di rumah ini! Seolah aku tak kasat mata di mata kalian! Aku merasa gak berguna di rumah."
Kita semua saling bertatapan. Setelah apa yang benar-benar terucap, diam adalah jawaban yang sebaik-baik. Tidak ada kata-kata yang sebaik diam, saat itu. Windy memilih pergi berlari dan disusul oleh Clo. Menyisakan aku dengan Bunda.
Kami bertatapan sejenak hingga aku memilih ke kamar. Mengambil barang-barang yang sudah kusiapkan untuk berangkat ke Masamba besok pagi. Setelah aku turun, rupanya Bunda masih di sana. Duduk sendirian. Entah apa yang ia pikirkan, yang jelas, malam ini kita semua merasa bersalah dan ingin dibenarkan.
Malam itu aku pergi tanpa pamit. Bahkan untuk meninggalkan rumah selama sebulan, aku tidak pamit kepada Bunda. Entahlah, saat itu aku benar-benar kaku untuk bicara.
Sembari berjalan ke depan gang dengan membawa koper dan tas kecil, aku mencoba menghubungi Adit.
"Halo? Kenapa Snow?"
"Bisa jemput aku gak?"
"Sekarang? Bisa kok. Kamu kenapa? Ada masalah?"
"Aku tunggu di depan gang."
Aku mematikan panggilan sepihak. Sekitar lima belas menit aku berdiri di sana, ditatap aneh oleh orang-orang yang berlalu-lalang. Bagaimana tidak? Wajahku merah, mataku sembab, dan berdiri seperti orang bodoh membawa koper. Seperti habis diusir dari rumah.
Setelah menunggu cukup lama, Adit datang dengan motornya. Lelaki itu menghentikan motor tepat di hadapanku.
"Mau ke mana?" tanya Adit.
"Anterin aku ke rumah Mega."
"Siap, Putri Salju. Sini kopernya."
Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha menutupi fakta bahwa aku habis menangis dan sedang tidak baik-baik saja. Koperku sudah bertenger di ruang kosong di depan jok motor, dan ketika aku hendak naik ke boncengan Adit, seseorang memekikkan namaku.
"Kak!" Aku berbalik badan, dan menemukan Bunda sedikit berlari menghampiriku.
Aku diam, bahkan ketika Bunda sudah di hadapanku.
"Selimutnya ketinggalan. Kaka hati-hati ya, maafin Bunda." Ucap Bunda sembari menyelimuti bahuku.
Selepas itu, Bunda berbalik dan langsung pergi. Bodohnya, saat itu aku hanya diam saja. Padahal hatiku ingin aku lari mengejar Bunda, tetapi aku terlalu egois untuk memulai. Egoku begitu sialan!