Bulan sabit menggantung indah di antara kerlap-kerlip bintang. Cahayanya yang berbeda sendiri, membuat bulan terlihat sangat mencolok dibandingkan yang lainnya. Di bawah pantauan langit, tiga manusia sedang duduk beriringan di balkon rumah. Dengan segelas teh hangat dan beberapa aksesoris untuk melengkapi malamnya.
Sudah 30 menit mereka hanya saling diam. Snow sibuk dengan ponselnya, Windy dengan tugas kuliahnya, dan Clo dengan lukisan di kanvasnya. Hingga, salah satu dari mereka membuka suara.
"Gimana Masamba, Kak?" Tanya Clo tanpa mengalihkan pandangannya dari kanvas.
"Indah." Jawab Snow tanpa menoleh.
Kemudian, Windy menutup laptopnya karena tugasnya sudah selesai. Ia memundurkan badannya supaya bisa bersandar. Gadis itu menghela napas sembari menatap langit dengan hamparan bintang. Kemudian, dengan senyum kecil di bibirnya, ia bercerita:
"Sebenarnya, gue gak pengin kuliah di sini meskipun negeri. Gue pengin kuliah di Jogja, atau enggak Solo atau Malang. Karena.... Gue ngerasa gak dianggap aja. Kayak apa yang gue bilang waktu itu. Bunda lebih care sama Kaka dan Clo. Gue ngerasanya tuh, cuma dikasih makan, di kasih rumah, fasilitas, udah gitu aja. Terserah gue mau ngapain, selagi gak neko-neko hidup gue bakal baik-baik aja. Jadi, karena di rumah juga gue gak terlalu dipentingkan dan dianggap ada, sekalian aja gue kuliah yang jauh. Tapi... Tuhan punya rencana. Tuhan maunya gue di sini, alhamdulillah si dapet negeri. Terus, yaudahlah ya. Mau gimana lagi."
Ucapan Windy membuat Snow dan Clo menghentikan aktivitasnya seketika. Perlahan, Snow menaruh ponselnya dan mulai memperhatikan Windy. Disusul oleh Clo, gadis itu juga menghentikan melukis dan mulai memperhatikan Windy.
"Setelah masalah itu, keadaan rumah benar-benar asing bagi gue. Kita setiap hari ketemu, tapi gak ada interaksi apapun. Berasa lagi simulasi jadi zombie." Windy terkekeh sembari memeluk lututnya.
"Tapi, dari masalah itu bikin gue mikir. Dulu, gue sering banget recokin Kaka sampai perkara main aja gue harus ikut. Pokoknya kemanapun Kaka pergi, gue harus ikut. Sampai gak jadi main cuma gegara gue. Masuk SD, Kaka juga harus jagain gue. Hampir disetiap kenakalan yang gue buat, Kaka yang dimarahin sama Bunda, sama Ibu si anak yang gue jahilin."
"...Dari situ gue tau, dari dulu keadaan gak pernah ngebiarin Kaka egois. Kaka selalu dituntut buat ngalah dan berkorban. Dari dulu dan sampai sekarang, gak berubah. Bahkan hari ini, Kaka masih harus ngalah dan berkoban. Kaka harus kerja sambil kuliah, bahkan Kaka rela lulusnya telat biar kebutuhan gue sama Clo terpenuhi."
"...Gue gak bilang kalau beban Kaka itu jauh lebih berat dari pada gue, karena kita sama-sama gak tau rasanya ada di posisi ini. Tapi yang jelas, gue sadar kalau kita cuma butuh saling ngerti satu sama lain. Itusih yang gue rasain. Kalau kalian gimana?"
Kemudian, ada hening yang panjang. Membiarkan angin membawa kata-katanya masuk ke dalam telinga Snow dan Clo. Memberikan waktu kepada Snow dan Clo untuk membalas ucapan Windy.
Hingga, Clo menjawabnya.
"Waktu itu, aku mau pulang sekolah. Terus, Ergi ngajakin nonton pertandingan bola sekolahku lawan sekolah lain di GOR karena ada tugas olahraga suruh observasi kegiatan olahraga kemudian dicatat teknik-teknik yang dipakai itu apa aja. Nah, sialnya, aku sama Ergi salah masuk gerbang. Harusnya lewat gerbang kanan, malah masuk ke gerbang kiri. Jadilah aku sama Ergi kejebak di gerombolan anak STM yang lagi pada ngerokok sama mabok-mabokan."
"...Dan, malam itu terjadi. Tepat ketika baru saja aku sampai ke rumah. Dari dulu, aku selalu dikasih apa yang aku mau. Tapi di sisi lain aku selalu gak dibolehin memilih, sedangkan aku pengin memilih jalan aku sendiri. Aku gak dibolehin apapun yang berhubungan dengan kesalahan kalian di masa lalu. Kaka tau gak si, aku juga pengin ngerasain namanya salah dan belajar dari kesalahan tersebut. Aku pengin ngambil keputusan sendiri tanpa bantuan siapapun."