Pagi ini rasanya berat sekali. Aku seperti dipaksa untuk bangun, dan menyadari kalau ini semua bukan mimpi. Ini nyata, hari ini sungguh nyata. Kenapa Tuhan masih menyelamatkanku? Kenapa aku harus bangun? Kenapa Tuhan tidak membuat pesawat kami terjatuh kemarin? Kenapa Tuhan tidak membuat kapal yang kami tumpangi tenggelam di danau Toba?
Hari ini, aku berada di rumah oppung. Rumah sederhana yang berada di pelosok desa Salaon Dolok, kampung Siponggol Tanduk. Kampung yang berisi tiga rumah, dua rumah oppung, dan satu lagi adalah rumah kerabat kami. Satu rumah oppung adalah rumah batak bolon yang tidak ditempati lagi karena sudah tua, rumah di mana Mamak, tulang, dan tanteku dibesarkan. Satu lagi, rumah petak sederhana yang hanya terdiri dari dua kamar adalah rumah oppung yang sekarang ditinggali oppung, dan tempat kami berkumpul kalau ada acara kelurga besar.
Tidak seperti biasanya, air di rumah oppung yang berasal langsung dari gunung, yang sangat dingin seperti air es, tidak terasa lagi bagiku. Aku pun tidak perlu memakai jaket tebal seperti biasanya. Diriku sudah lebih dingin daripada air dan hawa di desa Salaon Dolok. Sejak aku dan tulang sampai di rumah oppung tadi malam pukul 02.00 dini hari, tidak ada yang berani menanyakan kabarku. Mereka hanya memelukku dan menyuruhku berstirahat.
Aku duduk di bangku panjang yang berada di teras rumah oppung. Pemandangan kebun kopi dan rumput hijau yang membentang tidak lagi indah bagiku. Aku masih sama seperti sejak kemarin pagi, masih menangis. Sudah tidak tahu lagi berapa banyak air mata yang mengaliri pipiku. Aku sudah tidak peduli lagi jika setelah ini, aku akan jatuh sakit atau bahkan mati karena menangis. Aku sungguh tidak peduli. Aku hanya ingin menangis, masih ingin menangis.
Seorang lelaki tua dengan bantuan tongkatnya berjalan pelan menghampiriku. Lelaki berkulit gelap, tinggi, kurus, dan wajah yang penuh kerutan. Lelaki berusia 70 tahun yang tubuhnya sudah menanggung banyak penyakit selama hampir sepuluh tahun, tetapi masih kuat berjalan dengan bantuan tongkatnya. Oppung doli. Mendengar suara langkah kaki oppung, aku menghapus air mataku, lalu berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis, meski mataku sudah merah dan bengkak. Aku masih ingin sekali menangis, tetapi aku tidak ingin terlihat lemah di depannya.
Ia duduk di sebelahku dengan diamnya. Menatap lurus ke halaman rumah, lalu terisak. Aku mengintipnya melalui ekor mataku. Terlihat jelas di wajahnya kalau ia sangat bersedih, sama sepertiku. Tidak perlu menunggu menit, air mataku pun ikut mengalir. Kami berdua merayakan kesedihan kami di bangku panjang tanpa ada satu kata pun yang terucap.
****
Kampung yang hanya dihuni empat rumah bolon itu sudah ramai dengan orang-orang berpakaian serba hitam, dan tenda yang sudah berdiri tegak di tengahnya. Memerlukan waktu sepuluh sampai lima belas menit dari rumah oppung ke kampung itu dengan kendaraan beroda dua. Kampung yang tidak asing lagi bagiku, kampung Sibargot, kampung asalnya bapak. Kedatanganku bersama tulang, oppung doli, dan oppung boru disambut peluk dan tangisan.
“1Amani Paima, bereng jo si Paima on. Basa tor toppu par lao mu i? Amani Paima.... Songon dia do roham maninggalhon boru ta on?” Ujar seorang wanita paruh baya dengan isakan tangisnya sambil mengusap-usap air mataku yang belum juga berhenti mengalir sejak kemarin.
Hari itu, orang-orang di sana menangis. Orang-orang di sana adalah saudara-saudari kandung bapak, teman-teman masa sekolah bapak, dan ipar-ipar bapak. Mereka datang dari kota perantauan mereka untuk melihat bapak untuk terakhir kalinya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ambulans yang sangat memekakan. Suara ambulans itu berhasil meramaikan suasana saat itu, semakin menghidupkan kesedihan di kampung itu. Semua orang berteriak memanggil nama bapak sambil menangis.