Sesampainya aku di Bekasi, aku langsung memeluk erat nantulang Icha, yang sudah kuanggap sebagai mamaku selama di Bekasi. Aku menangis di pelukannya, agak lama. Aku merasa tidak kuat untuk menerima keadaan ini. Kupikir, dengan pelukan dan tangisanku yang begitu deras sudah bisa menggambarkan kesedihanku yang mendalam.
“Gak apa-apa nangis. Yang penting kamu harus percaya, akan selalu ada pelangi setelah hujan. Paima harus kuat, harus bisa menghibur mama dan adik-adik juga,” bisik nantulang dengan sedikit terisak.
****
Tidak perlu libur sampai seminggu. Istirahat sehari setelah kepulanganku dari desa Salaon Dolok sudah cukup bagiku. Aku juga sudah lelah menangis terus. Aku harus tetap bersekolah, mengejar cita-citaku. Entah cita-citaku masih akan sama seperti yang kuceritakan pada bapak, ataupun tidak, aku tidak peduli. Tuhan masih mengizinkanku hidup, Ia pasti ingin aku terus bergerak, meskipun aku tidak tahu akan digerakkan ke mana oleh-Nya.
Hari pertama aku sekolah setelah libur singkatku, aku tidak mampir ke kapel. Aku lelah berdoa, dan mulai merasa tidak ada gunanya jadi orang baik. Pergi ke kapel hanya akan membuatku berlutut dan menangis. Setelah itu, mataku akan terlihat sembab saat masuk kelas. Aku tidak mau dan tidak boleh terlihat lemah di depan teman-temanku.
Sesampainya di kelas, teman-temanku menyambutku, dan beberapa memelukku erat, menyatakan duka citanya, memberi kalimat penguatan yang aku sudah bosan mendengarnya sejak beberapa hari yang lalu.
“Pai, semangat!”
“Pai, gue tahu lu itu orang yang kuat.”
“Iya. Kalau gue gak kuat, mana mungkin gue masuk sekolah hari ini,” balasku tersenyum tipis pada mereka. Aku memang paling jago bersandiwara, kuakui.
****
Sejak kepergian bapak, aku semakin sering menelepon mama dan adik-adik, sekadar menanyakan kabar mereka.
“Ada yang bilang, katanya bapak bukan kecelakaan.”