Tahun ini aku lulus SMA. Sebelumnya, aku pernah cerita ke bapak kalau aku ingin menjadi psikolog, karena saat itu aku senang memperhatikan orang-orang di sekitarku, dan menebak-nebak perasaan mereka. Aku ingin berkuliah pada jurusan Psikologi setelah lulus SMA. Tepatnya, di fakultas psikologi Universitas Padjajaran. Kala itu, bapak menyanggupi dan mendukung cita-citaku. Dia paham betul kalau anak perempuannya ini sangat keras kepala dan bertanggungjawab pada pilihannya. Itu dulu, ketika bapak masih ada.
“Kau cari jurusan yang lain saja. Carilah jurusan yang lebih cepat selesainya, lebih murah dan enggak ribet. Kau harus pikirin juga, adekmu si Petrus tahun ini mau masuk SMA. Dia udah diterima di Seminari, pulak. Biaya di Seminari, kan mahal. Gak kalah mahal sama biaya sekolahmu sekarang.”
Mamak tidak menyetujui pilihanku yang terlalu tinggi menurutnya.
“Gak tau lagi aku mau ambil apa, mak.”
Terdengar suara hela napas panjang mamak dari handphone-ku. “Kau yakin psikologi? Itu susah, loh, cari kerjanya. Belajarnya juga pasti berat. Mempelajari manusia.”
“Aku gak punya pilihan lain lagi, mak.”
****
Di awal tahun 2017, kepercayaanku pada Tuhan mulai pulih. Aku mulai melakukan kegiatan lamaku yang tidak lain adalah mengunjungi kapel sebelum masuk kelas. Aku mulai percaya, Tuhan sedang menyiapkan pelangi yang indah buatku di masa depan. Entah pelangi yang seperti apa, kita lihat saja nanti. Namun, aku sangat berharap kalau pelangi itu adalah aku lolos jalur undangan pada fakultas psikologi Universitas Padjajaran.
Dan saat pengumuman tiba, ternyata aku tidak lolos. Aku patah hati lagi, sedih lagi. Di mana pelangi yang Tuhan sediakan? Sejak kepergian bapak, hidupku rasanya berat, terlihat gelap. Aku tidak punya alasan untuk bahagia, bahkan aku hampir tidak ingin berjuang lagi dalam menyelesaikan sekolahku.
Aku sangat berharap sekali pada jalur undangan, karena aku sangat tidak yakin jika harus mengikuti jalur tes. Aku tidak pandai. Mamak tidak memiliki uang yang cukup untukku bisa mengikuti bimbingan belajar persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri. Pun, jika harus belajar sendiri, aku sulit melakukannya.
“Mak, aku gak lolos.” Aku menelepon mama, menyampaikan kabar buruk yang tadi sore berhasil membuatku menangis dan mengurung diri di kamar.
“Kan, sudah kubilang! Kau memang keras kepala kali. Jadi kek mana lagi?”
“Aku ikut jalur tes aja, mak, SBM PTN. Tetap ambil psikologi UNPAD juga.” Meskipun aku sangat tidak yakin bisa lolos tes, tetapi tetap saja pilihanku psikologi UNPAD. Aku sudah terlanjur jatuh cinta pada Universitas Padjajaran sejak kelas 10, begitu juga dengan jurusan Psikologi yang merupakan cita-citaku.
“Sukakmu, lah. Kalau kusuruh pilih yang lain, kau gak bakal mau, kan! Yang penting kalau kau gak masuk negeri, jangan harap bisa kuliah, kau!”
Untuk kesekian kalinya, aku menagis di hari yang sama. Aku tahu, perkataan mamak barusan adalah gertakannya supaya aku lebih serius untuk persiapan tes. Supaya aku bisa lolos. Aku tahu sebenarnya mamak sangat tidak setuju dengan jurusan dan universitas pilihanku. Aku tahu, dia tidak merestuiku kali ini.
Oke, tidak apa-apa. Akan kubuktikan pada mamak. Aku akan belajar keras, sendiri.
“Tuhan, apa Engkau bersamaku? Tuhan, aku ingin sukses. Aku ingin jadi mahasiswa psikologi UNPAD tahun ini. Bantu aku, Tuhan. Tegur aku jika aku sedang malas. Bapak pasti lihat aku dari atas kan, pak? Bapak masih pengen lihat aku berhasil. Doakan aku ya, pak. Aku tahu bapak gak pernah benar-benar pergi.” Aku berdoa, menangis lagi.
****
Puji Tuhan, aku lolos SBM PTN, tetapi di pilihan ketiga, pilihan cadangan, Teknik Perairan di salah satu universitas di pulau Sumatera. Sedih, sudah pasti. Namun, setidaknya aku memiliki cadangan. Entah akan kuambil atau tidak, aku akan mendiskusikannya nanti dengan mamak saat aku pulang ke Air Molek.
“Tuhan itu gak mau kamu jauh dari mamak, Pai. Makanya kamu lolos di Sumatera. Biar kamu bisa jagain mamak.” Seperti biasanya, nasihat nantulang Icha selalu berhasil menenangkanku. Kalimat dari nantulang Icha lah yang bisa membuatku bisa merasa bersyukur, dan tidak menangis lagi karena ditolak psikologi UNPAD untuk kedua kalinya.
****
“Tapi universitas negeri, masih mahal juganya biayanya,” protes mama ketika aku memberitahu total biaya yang diperlukan untuk daftar ulang perkuliahanku. Aku lolos seleksi mandiri di Universitas Andalas.