SULUNG

Embun RA
Chapter #1

Rania: Aku Putri Sulung Ibuku

Manusia terkuat setelah ibu adalah anak pertama perempuan—Anonim

Suatu hari ibu pernah bercerita, tentang tugas-tugas seorang anak.

"Menjadi anak sulung itu adalah kehormatan. Terlebih lagi jika ia perempuan," kata ibu.

"Kenapa?" tanyaku dengan sangat polos.

"Karena anak perempuan jauh lebih kuat dan mandiri di banding anak laki-laki. Mereka bisa menjadi kepala rumah tangga, serta ibu rumah tangga sekaligus. Kalau anak laki-laki belum tentu bisa, terutama untuk urusan dapur, hehehe...," canda ibu dan menurutku itu masuk akal. Karena apa yang diucapkan ibu, ibu memposisikan dirinya sendiri. Seorang kepala rumah tangga sekaligus ibu rumah tangga. Setelah ayah meninggal ibu yang bekerja mengurusku dan adikku Kaisar. "Tapi bukan karena itu juga, Ran, alasan anak perempuan pertama jauh lebih kuat karena mereka memiliki hati dan prinsip makanya mereka bisa mandiri," kata ibu melanjutkan perkataannya.

Cerita ibu waktu itu masih terngiang di telingaku sampai detik ini. Aku anak sulung ibuku, setelah ayah meninggal dan ibu berhenti bekerja, aku yang pasang badan untuk menafkahi keluargaku. Seperti cerita ibu dulu, aku harus menjadi kuat dan madiri. Dan, benar saja. aku sanggup menafkahi keluargaku. Aku tak merasa kelelahan karena di balik lelahku ada doa ibu yang tulus. Yang selalu meminta pada Tuhan agar aku diberi umur yang panjang, bahu yang kuat, dan hati yang besar.

Namun, semua itu dirasa percuma setelah ibu memutuskan menikah lagi dengan pria yang telah beristri. Om Seno, pria yang terlihat baik di awal. Namun, memiliki hati yang busuk. Dia memanfaatkan ibu untuk mengambil keuntungan dariku. Ibu menjadi perantaranya untuk menguras habis tabunganku. Hingga aku hanya mengandalkan uang bulanan dari bekerja di tiga tempat. Les private, kafe, serta buruh pabrik karet tempat ibu dulu bekerja.

"Rani, ada uang 500 ribu?" Masih di minggu kedua setelah gajian, ibu kembali menanyakan uang padaku. Padahal upahku dari kafe dan pabrik kuserahkan semua kepada ibu. Sedangkan upah dari mengajar private sengaja tidak kuserahkan ke ibu karena untuk biaya sehari-hariku selama sebulan.

"Yang Rani kasih kemarin kemana, Bu?" tanyaku. Ibu diam. Dia meremas-remas jari tangannya. Ibu tampak gelisah dengan sesekali menatap bilik kamarnya. "Maaf, Bu. Rani sudah tidak ada lagi uang. Ada pun untuk ongkos Rani."

Tiba-tiba ibu menarik tas yang kusandang dibahuku. "Jadi anak jangan perhitungan. Ibu ngga pernah perhitungan sama kamu. Kalau mau perhitungan, udah berapa banyak pengeluaran ibu untuk kamu." Perkataan ibu benar-benar menohok. ingin rasanya aku mengumpat dan berkata, seharusnya jangan pernah melahirkan anak sepertiku kalau akhirnya cuma untuk diungkit-ungkit semua biaya hidupku. Akan tetapi, kata-kata itu hanya berhenti di tenggorokanku saja. Aku tak memiliki keberanian untuk membantah ibu.

"Bu, jangan diambil semua," pintaku saat ibu mengeluarkan lembaran demi lembaran dari dalam dompetku. Lalu ibu hanya menyisakan selembaran uang kertas berwarna biru yang kuyakini tak kan cukup untuk biaya dua minggu ke depan. Aku menghela dan membathin, seadainya aku bisa menukar bahuku dengan seseorang, aku ingin sehari saja meminjam bahu seseorang yang lebih kuat dariku. Aku ingin sehari saja bebas dari kehidupanku sekarang ini. Gambaran putri sulung yang ibu pernah ceritakan waktu itu, sangat jauh dengan apa yang aku rasakan saat ini. Memiliki prinsip dan mandiri sudah kujalani. Hanya saja untuk hati aku tak memiliki hati yang besar. Yang bisa menerima semua yang terjadi dalam hidupku dengan hati yang luas.

"Kamu putri sulung ibu, kalau bukan denganmu, dengan siapa lagi?" Dan, benar saja ibu selalu mengungkit kata sulung itu. Hingga kata itu sudah seperti sebuah ancaman dan kutukan bagiku.

***

Kantuk masih menggantung di kelopak mataku saat mengajar anak-anak bu Retno. Rasanya udara dingin dari AC kamar Nanda, putri bu Retno benar-benar merayuku untuk menarik selimut dan sejenak melenyapkan kantukku.

Huammm...

Nanda melihatku menguap. Gadis kecil itu tersenyum menatapku.

"Kak Rani mengantuk ya?" katanya sembari menutup bukunya.

"Sedikit," kataku dengan mata sedikit berair.

Lalu Nanda beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kamar. Tak beberapa lama dia kembali dengan membawa sebotol minuman yg airnya terlihat keruh.

"Ini apa, Nda?"

"Obat ngantuk papa pas kerjanya malam."

"Iya kah."

"Coba deh, Kak."

Kubuka tutup botol plastik itu. Aroma kecut masuk ke hidungku. Ini air jeruk nipis. Entah sejak kapan air jeruk bisa menghilngkan kantuk, mungkin rasa kecut dari air jeruk itu yang mampu membuat kantuk hilang.

Ku minum perlahan. Rasa asam dan dingin membuat tenggorokanku terasa lebih segar dan membuat mataku sedikit bereaksi karena rasa asam itu.

"Lumayan," kataku. Dan, melanjutkan tugasku yang bersisa beberapa menit lagi.

Jam belajar pun berakhir bersamaan dengan bu Retno membuka pintu kamar Nanda.

"Sudah selesai?"

"Iya, Bu."

"Di depan ada yang udah nungguin kamu tuh?" kata bu Retno sembari menggoda.

Aku tersenyum lalu segera pamit kepada bu Retno serta kedua anaknya. Dari ruang tamu aku bisa melihat seseorang duduk di teras depan. Aku tau siapa dia. Satu-satunya pendengar terbaikku, saat aku butuh seseorang untuk mendengarkan. Istu Sanjaya, mahasiswa pertanian semester empat universitas negri Palembang. Kami dekat sejak sama-sama di bangku SMA kelas 2. Kurang lebih empat tahun kami dekat.

"Hai! Udah selesai?"

Lihat selengkapnya