Kenapa Rosulullah memuliakan Ibu, Ibu, Ibu, dan setelahnya Ayah? Karena Ibu itu istimewa—Ayah
"Hanya aku yang berjuang disini?” teriak ibu kepada ayah. “Kau tau, bukan mauku bekerja ditempat menjijikan seperti itu, tapi kenyataannya hanya tempat itu yang mau menerima karyawan seusiaku yang hanya memiliki ijazah SMP. Jadi jangan pernah sekalipun protes aku pulangnya kapan!"
“Aku bukan protes, Bu. Aku hanya minta kamu jangan ambil lembur lagi. BIar pulangnya ngga kemalaman.”
“Lalu uang buat sekolah Rania dan Kaisar bagaimana? Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Hanya mengandalkan gaji bulananku ngga akan cukup. Kalau kamu juga bekerja aku ngga akan sesengsara ini."
“Tapi, Bu, Kondisiku tidak memungkinkan untuk bekerja. Aku sakit, Bu!” kata ayah terdengar lesu"
“Hanya itu yang kau bisa. Mengeluh!"
Aku hanya terdiam dibalik pintu kamarku. Sedangkan yang selalu membuat rusuh rumah tengah tertidur pulas di atas tempat tidurku. Aku mendekati Kaisar. Dia satu-satunya adikku. Dalam beberapa bulan lagi ia akan masuk SMP. Entah dia lanjut sekolah atau tidak, karena setiap hari Kaisar selalu merengek malas ke sekolah dan ingin berhenti sekolah. Kadang dia berangkat dari rumah untuk ke sekolah, tapi tidak benar-benar ke sekolah. dia sering menyelinap masuk lagi ke rumah lewat pintu belakang tanpa ketahuan orang rumah. Lalu masuk kamarku dan bersembunyi di dalam lemari pakaian. Hampir setiap hari seperti itu. Laporan absensi sekolah Kaisar yang bolong selalu membuat ayah mendapat panggilan untuk ke sekolah. Tetapi ayah tak pernah marah, kata ayah semakin dikekang Kaisar akan semakin keras. Kalau sudah seperti itu ayah hanya akan membiarkan Kaisar dan menyuruhnya untuk berpikir sendiri.
Sama seperti saat ini. Setiap kali ibu marah ayah hanya akan membiarkannya saja. Terkadang kata-kata ibu seperti rem blong, bablas, tak terkendali, tetapi ayah tak membantahnya. Sekalipun kata-kata itu melukai harga diri ayah. Ayah akan tetap diam. Sebelumnya ibu tak pernah bersikap seperti itu kepada ayah. Ibu berubah sejak ayah memutuskan pensiun dini. Ayahku bekerja di perusahaan pupuk milik negara yang berdomisili di Palembang. Setelah ayah mengalami kecelakaan kerja, yang membuat ayah harus kehilangan satu ginjalnya. Saat itu ayah memutuskan pensiun dini. Uang pensiun ayah sebagian di belikan rumah dan sebagian lagi ditabung. Namun, cobaan tak habis sampai di situ, ayah sakit keras. Ayah di diagnosa menderita kanker darah dan mengaharuskan ayah harus cuci darah seminggu sekali. Karena penyakit ayah itulah perlahan uang tabungan ayah dan ibu habis. Untuk biaya kebutuhan sehari-hari terpaksa ibu yang harus banting tulang mencari uang.
Aku keluar dari kamar dengan masih berseragam putih abu-abu. Aku hanya melihat ayah di depan pintu rumah tengah bersiap keluar rumah.
“Ayah… mau kemana?” tanyaku pelan.
“Jalan-jalan sebentar diluar. Mau ikut?”
Aku mengangguk dan mengikuti ayah dibelakangnya. Sepanjang jalan ayah hanya diam dan sesekali menyambut sapaan warga sekitar. Tiba di danau buatan yang tak jauh dari komplek rumah, ayah duduk di sisi danau yang terlihat bening dan tenang. Rumput-rumput yang tumbuh didasar danau terlihat lebat kehijauan. Ikan-ikan kecil berenang diantara rumput-rumput itu.
Ayah diam. Air mukanya tampak lelah dan murung. Aku yakin ayah memikirkan perkataan ibu tadi dan membuatku tergerak untuk bertanya.
“Ayah kenapa? Ayah masih memikirkan kata-kata ibu, ya?”
Dalam hitungan detik. Ekspresi ayah berubah. Yang tadinya tampak lelah dan murung, sedikit ada senyum kecil diwajahnya.
“Sangat jelas ya?” ayah balik bertanya.
Aku mengangguk. Kemudian ayah merubah posisi duduknya. Kali ini ayah menghadapku.
“Menurut kamu ayah pantas ngga kalau marah?”
“Ayah kalau mau marah sama ibu, marah aja. Kadang ibu memang kelewatan kalau marahin ayah Ngga mikir lagi kalau ada yang sakit hati."
“Menurutmu ayah harus seperti itu?” Aku mengangguk karena seharusnya ayah berhak bersikap seperti itu.
“Kamu tau kenapa Rosulullah memberikan jawaban ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu.”
Aku diam dan menunduk.
“Ibu itu istimewa, Ran. Semarah apapun ibu, seburuk apapun ibu bersikap, ibu tetaplah ibu. Sesosok wanita kuat yang melahirkan kita. Yang menjaga kita sekalipun ia lelah. Yang bersedia memberikan makanannya walau terkadang ia pun kelaparan. Seperti itulah ibu, Rania. Jadi, semarah apapun kamu kepada ibu, jangan sekali-kali kamu membentak ibumu. Sekecil apapun bentakan itu, itu sama dengan kamu menanam benih luka dihati ibu. Paham maksud ayah?” Seperti itulah ayah. Ibu selalu istimewa di mata ayah. Walau terkadang ia pun terluka dengan kata-kata ibu, ia tak kan marah. Ayah akan memaafkan ibu, sebelum ibu meminta maaf. Seperti yang ayah bilang, ibu itu istimewa.
***
Masih pagi buta saat ibu dan para rentenir itu saling berkicau di ruang tamu. Aku keluar dan bermaksud ke kamar Kaisar. Akan tetapi, langkahku terhenti saat ibu langsung menarik tanganku.
“Temui mereka sebentar saja?” kata ibu seperti memelas.
“Apa hubungannya denganku, Bu?”
“Ayo!” Ibu seperti tak peduli denganku. Ia terus saja menarik tanganku hingga ke ruang tamu dan menghadap dua orang pria yang tampak seusia ibu. “Dia anakku,” kenal ibu pada mereka.
“Begini, kita nih seperti kejar-kejaran sama si Seno itu,” katanya tanpa mengawali percakapan yang sama sekali tak kumengerti.
“Yang kalian cari Seno kan? Bukan saya?” kataku tak ingin ribet dengan urusan orang luar.