Sulur Luka

FA NELA
Chapter #6

Bab 6: Seperti Fatamorgana

Pukul 09.00 WIB, semua editor khusus divisi buku perguruan tinggi bergegas masuk ke ruang rapat. Salah satu dari tiga ruangan yang Laila anggap sebagai ruangan paling normal di kantor ini. Dua ruangan lain tentu saja, ruang tamu yang ada meja resepsionis dan ruangan Pak Kenzi. Beberapa hari lalu, Laila pernah dipanggil ke ruangan sang general manager, lalu diberi arahan mengenai tugasnya sebagai editor di sana. Selain mengedit naskah, Laila juga harus mencari penulis baik melalui email maupun visit langsung ke kampus-kampus. Berhubung divisi yang Laila pegang adalah perguruan tinggi keagamaan, maka selain dosen, Laila diperbolehkan menargetkan ustadz atau tokoh keagamaan lain untuk menjadi penulis di penerbit mereka. Yang terpenting, Laila tidak keluar dari jalur planning tahunan yang sudah penerbit buat sebelumnya.

Setelah semua editor masuk ke dalam ruang rapat, Pak Kenzi langsung mengambil alih percakapan. Dia meminta satu persatu editor memberikan laporan, mengenai nama-nama penulis yang siap diajukan ke dalam rapat eksternal akhir bulan nanti.

Laura lebih dulu memberi lembaran data kepada Pak Kenzi. Lalu, mempresentasikan satu persatu judul naskah beserta nama-nama pemiliknya. Daftar isi dari naskah-naskah juga tak luput Laura jabarkan. Hingga beberapa naskah langsung disetujui, namun ada satu naskah yang terkesan berjalan alot. Laura tampak kukuh bahwa naskahnya sangat layak untuk diajukan naik cetak. Tapi tampaknya Pak Kenzi punya pendapat sendiri yang tidak kalah penting. Naskah X dari seorang dosen di universitas XX, bukan universitas terkenal apalagi masuk ke dalam 10 nominasi universitas terbaik di Indonesia. Jadi, walaupun tema dari naskah itu sebenarnya bagus dan belum pernah ada di Jagat Media, Pak Kenzi menganggap nama universitasnya masih belum cukup mengangkat nama si penulis. Apalagi sang dosen belum punya riwayat menerbitkan buku—selain jurnal ilmiah.

“Makanya kita harus kasih kesempatan, Pak. Karena di luar sana, naskah tema ini bagus banget dan kita belum punya,” tegas Laura berharap Pak Kenzi luluh.

Sayangnya, sosok berwajah oriental itu malah terdiam sejenak sembari menyipitkan mata. “Kalau begitu, coba kamu tanyakan sama penulisnya, apakah dia mau melakukan perjanjian jika bukunya diterbitkan, dia bisa membantu penjualan ke mahasiswa. Minimal 3000 eksemplar.”

Hah, seriusan?, batin Laila terkejut. Bukan 300, melainkan tiga ribu. Tiga ribu eksemplar!

Setahu Laila, penerbitan buku memang kadang-kadang meminta penulis untuk turut melakukan promosi demi meningkatkan penjualan. Mulai dari giveaway, meminta para pengikut untuk mereview bukunya, sampai peluncuran launching buku dengan sang penulis. Namun, belum pernah Laila mendengar, penulis wajib melakukan perjanjian untuk bersedia “membeli” bukunya sendiri, lalu dijual kembali kepada mahasiswa dengan jumlah ribuan kopi.

Apakah ini sesuatu yang normal di penerbitan buku ajar? Atau memang hanya akal-akalan Jagat Media demi menstabilkan kondisi penjualan di masa pandemi? Laila sama sekali tidak menemukan jawaban, sampai Laura akhirnya menyerah dan berkata bahwa dia akan berdiskusi dulu dengan penulisnya.

Editor lain juga tak luput dari perdebatan mereka masing-masing. Beberapa poin yang Laila tangkap; 1. Naskah berupa jurnal ilmiah otomatis ditolak; 2. Naskah bagus, tapi identitas penulis tidak terkenal, kemungkinan besar akan ditolak; 3. Naskah kurang menarik, tapi dari penulis langganan, akan dipertimbangkan. Dalam kasus ini, biasanya penerbit akan menawarkan solusi, yaitu meminta penulis membuatkan naskah dengan judul yang sesuai kebutuhan penerbit; 4. Naskah bagus, berasal dari penulis langganan otomatis diterima. Intinya, nama penulis harus memiliki nilai jual selain dari segi kualitas naskah.

Sampai tiba giliran Laila menyerahkan laporannya kepada Pak Kenzi. Hanya satu judul yang berhasil dia dapatkan. Itu pun naskah terbengkalai yang sudah tiga bulan lalu mengendap di komputer.

“Judul Studi Ilmu Alquran kebetulan ada di dalam planning tahunan Athariz.”

Lihat selengkapnya