Sulur Luka

FA NELA
Chapter #8

Bab 8: Harga Pertaruhan

Tiga karyawan dinyatakan positif covid. Salah satunya adalah kepala redaksi dari divisi buku sekolah. Gara-gara itu, pihak direksi langsung mengeluarkan pengumuman akan memberlakukan hybrid selama satu bulan ke depan. Alias sesekali WFH, sesekali WFO secara bergantian antar divisi. Laila yang masih belum berhasil mendapatkan naskah untuk diedit, merasa kelimpungan. Jika bekerja di kantor, dia masih bisa ke sana ke mari mengikuti editor lain bertemu dengan penulis. Terlebih jika penulis itu ternyata punya naskah bertema religi. Meski ujung-ujungnya, naskah ajuan Laila terus ditolak dengan berbagai alasan. Tapi membayangkan bekerja di rumah tanpa memiliki satu naskah pun untuk diedit, Laila mencemaskan KPI-nya.

  Pak Dito yang mengetahui hal itu, lagi-lagi membantu Laila. Dua naskah cetak berbentuk lembaran HVS peralihan divisi lain langsung dia berikan. Tugasnya masih sama, sekadar proofreading tanpa melakukan editing mendalam. Laila benar-benar bersyukur, terlepas dari kekecewaan terhadap tempat kerjanya, Laila masih diberi atasan yang sigap membantu.

   WFH minggu pertama pada awal bulan adalah sesuatu yang baru. Laila belum pernah merasakan pengalaman ketika segalanya harus dilaporkan melalui ponsel. Laila memang pernah menjadi freelance editor, tapi deadline-nya tidak ketat seperti WFH. Yang harus melakukan absensi kehadiran dengan video call grup, KPI yang seharusnya disetor mingguan kini menjadi harian, lalu wajib fast respons ketika atasan mengirim WA tentang pekerjaan. Tapi itu wajar, penerbit ingin memastikan karyawannya benar-benar melakukan pekerjaan meski dalam kondisi tak terpantau.

   WFO minggu kedua, Laila kembali senewen karena naskah-naskah yang dia dapatkan terus berupa jurnal penelitian. Kalaupun ada buku ajar, proses naskahnya baru 60-70% alias belum selesai ditulis. Sedangkan Pak Kenzi mulai menagih judul-judul baru untuk dibawa ke rapat internal bulanan. Laila hanya pasrah begitu atasan memberi ceramah saat rapat dilakukan.

    WFH minggu ketiga, tiba-tiba Laila merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Terutama pada pangkal paha bagian dalam dekat dubur atau tempat pembuangan feses. Awalnya hanya sedikit nyeri, setiap kali Laila berjalan nyeri itu berubah menjadi rasa tidak nyaman. Kulit paha dekat dubur pun mulai kemerahan yang disangkanya sebagai ruam efek biang keringat. Saat itu Laila masih tak terlalu menganggapnya serius. Dia hanya mengolesi dengan minyak urut hangat, sampai selang beberapa hari, kulit kemerahan itu tak kunjung mereda. Nyerinya bertambah parah sampai-sampai Laila kesulitan untuk duduk di tempat-tempat keras seperti lantai, kursi kayu, dan sejenisnya.

Mendekati masa WFO, Laila memutuskan berobat ke dokter umum. Dengan segala keterbatasan pengecekan, dokter mendiagnosa Laila terkena ambeien stadium pertama. Bukan hal yang patut disyukuri, hanya saja Laila merasa sedikit tenang karena dokter menyatakan penyakit tersebut masih tergolong aman. Masih bisa disembuhkan dengan obat dan tanpa operasi. Kemudian Laila pulang setelah mendapat satu suntikan.

Harapannya memang seperti itu, pulang ke rumah-minum obat-proses penyembuhan. Tapi nyatanya, efek suntikan dari dokter justru bereaksi sebaliknya.

Aaaaa! Sakit, Ma, SAKIT!!”

Lihat selengkapnya