Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #2

c

c

Sungguh, demi apa saja yang berkuasa di dunia ini, Listi tidak bermaksud ingin membenarkan stigma yang menganggap perempuan adalah kaum lemah, cengeng, manja, atau yang selama ini dipercaya oleh kelompok feminis sebagai akibat dari patriarki. Ini tak lebih hanyalah kenyataan pahit yang kebetulan menimpanya, lalu diceritakannya padaku.

Begini. Sekitar seminggu yang lalu, Listi ada konflik dengan pacarnya, Kurnia. Dalam konflik ini, Listi berada pada posisi benar, aku rasa begitu. Dinilai menggunakan analisis apa pun, Listi memang benar. Ya. Peristiwa ini terjadi di kereta ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju kota Malang dari Surabaya.

Kurang lebih sebanyak tiga jam waktu yang mereka tempuh dari Surabaya untuk sampai ke sana. Kau tahu, selama itu pula, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang menu makan malam apa yang akan mereka santap. Bukan mengobrol, apa ya, bertengkar. Ya, bertengkar. Maksudnya – biar kuperjelas – mereka sedang menuju kesepakatan untuk menentukan menu makan malam, tapi mereka melalui proses kesepakatan itu dengan bertengkar.

Mula-mula Listi membuka percakapan karena memang sejak awal mereka sudah berniat untuk melakukan makan malam di Malang.

Listi bertanya: “Mau makan apa nanti?”

Asumsi Listi waktu itu, semua makanan akan terlihat lezat saat seseorang tengah dalam keadaan lapar. Besar kemungkinan kondisi semacam ini membuat seseorang meng-iya-kan segala jenis tawaran.

“Terserah,” singkat Kurnia.

“Bakso?” tanya Listi.

Bagi Listi, bakso adalah pilihan yang pas dengan cuaca di Malang. Kita semua sepakat, di sana, maksudku Malang, adalah kota yang dingin dan cocok dengan makanan yang hangat-hangat.

“Sebenarnya tawaranmu menarik. Tapi kemarin malam aku sudah makan bakso,” jawab Kurnia.

Duh. Bukan bermaksud agar cerita ini terkesan akademis atau berlagak nyastra, tapi sungguh begitulah cara mereka bercakap-cakap. Aku pernah menyaksikannya sendiri. Meski ada juga sebagian kecil yang kutambah-tambahkan. Anggap saja yang itu format ceritaku, kau harus menyesuaikannya. Kalau kau merasa kesulitan, artinya kau kurang banyak berusaha.

“Kalau begitu, kita langsung cari ayam penyet?” tawar Listi lagi.

Kau pastilah paham, menu yang satu ini punya daya adaptif di atas rata-rata ketimbang menu-menu lain. Pedas nikmat dengan harga merakyat. Paling-paling kita hanya perlu bayar lima belas ribu untuk seporsi menu penyetan. Itu pun sudah lengkap dengan minumnya.

“Perutku langsung gangguan saat terakhir makan ayam sambal,” jawab Kurnia.

Kurnia tidak langsung menolak tawaran itu. Namun kau bayangkanlah dulu, caranya mempertimbangkan sungguh membuat Listi pesimis. Mereka punya pengalaman, bahwa makan dengan penuh kekhawatiran itu memang tidak enak.

“Kalau begitu kamu saja yang menentukan,” ketus Listi.

Kurnia diam cukup lama setelah Listi bilang demikian. Dia melempar tatapannya ke luar jendela yang sebenarnya tidak bagus-bagus amat untuk diperhatikan. Lagi pula saat itu mereka sedang melewati daerah yang gelap. Mungkin sawah atau hutan atau sejenisnya.

“Ketan? Yah! Kita makan ketan duren di Batu,” sorak Kurnia yang membuat Listi agak terkejut. Kurnia mengatakannya seolah-olah telah berhasil mengingat sesuatu yang paling mengagumkan di dunia.

Tentu saja Listi langsung menjawab “oke” karena tak mau memperpanjang perkara. Dalam cerita ini, Listi sudah cukup berpengalaman terjebak dalam situasi seperti demikian. Biar kuperjelas: situasi ketika seorang perempuan berubah pikiran semaunya. Kau mengerti maksudku? Kuharap begitu.

Lihat selengkapnya