Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #4

e

e

Suatu pagi Ketrin tersentak dari mimpi buruk. Dalam mimpi itu, Ketrin melihat seseorang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya. Mata orang itu memancarkan nyala merah. Ketrin tidak yakin benar apakah orang itu adalah manusia atau hantu. Ketika Ketrin mencoba menerawang wajah orang itu lebih dekat, nyala mata orang itu semakin terang sehingga membuat mata Ketrin silau.

Tiba-tiba orang itu menerobos masuk ke dalam kamar Ketrin dan menerkamnya dengan sayap hitam besar yang memporakporandakan seluruh isi kamar. Makhluk itu berkirap dan mendarat di atas tubuh Ketrin. Wajahnya bengis. Badannya licin sementara rambut kusutnya mengapung bagai turut terbang bersama sayapnya. Ketrin berteriak dan terbangun ketika makhluk itu hendak mencekik lehernya.

Cerita ini agak terdengar menyeramkan. Selain karena malam hari, apa kau tidak menyadari betapa akan mengerikannya lingkungan museum ini kalau sedang sepi. Bangunan-bangunan tua yang menyimpan sejarah hidup dan mati. Tapi tetap saja, karena kau adalah pacarku, kau tidak boleh memprotes atau menyarankan supaya aku mengganti cerita. Diamlah, dan nikmati.

Mimpi Ketrin mungkin terdengar singkat, tapi kau perlu tahu, mimpi itu terus menghantuinya setiap hari. Ketrin lupa, kapan mimpi itu pertama kali mendatanginya. Ketrin bisa pergi dari mimpi itu lebih cepat kalau saja ibunya selalu membuka korden jendela di kamarnya tepat waktu, membiarkan sinar matahari menyorot kelopak mata Ketrin. Namun sayang, ibunya kadang terlalu asyik di depan televisi untuk menonton berita dan tayangan opera sabun yang sudah pasti bisa ditebak arah ceritanya. Tak ada barang lain yang membuat sibuk ibunya kecuali televisi.

Ketrin mempunyai anak perempuan berusia sembilan belas tahun. Ketrin sendiri berusia tiga puluh delapan tahun. Selisihnya cukup jauh, tapi bagi orang-orang yang tidak mengenal mereka, pasti akan mengira Ketrin dan anaknya adalah saudara kembar. Nama anak perempuan itu Merah. Sesuai namanya yang mewakili warna paling menyala di dunia ini, Merah adalah perempuan yang cantik juga gemilang. Merah tumbuh dengan baik. Merah adalah nama yang diberikan suami Ketrin sebelum suaminya itu pergi untuk meresmikan perselingkuhannya dengan mantan pacarnya. Setiap menceritakan suaminya, Ketrin selalu berharap supaya suaminya menyesal atas perbuatannya. Meski pun Ketrin diam-diam tahu, Suaminya sangat berbahagia dengan istri barunya, dan Ketrin menjadi korban yang dicampakkan dalam kondisi menyedihkan.

Merah, anaknya itu, bersekolah tidak jauh dari rumah. Tahun ini Merah semestinya sudah mulai kuliah di luar kota. Aku lupa nama perguruan tinggi itu. Tapi yang pasti di Jawa Barat. Begitu keinginan Merah yang sering diumbarkannya pada Ketrin. Semenjak menyadari harus membiayai kuliah anaknya, Ketrin pun lebih sering mengambil kerja lembur.

Ketrin bekerja di sebuah pabrik kertas. Diam-diam Ketrin sering berdoa di tempatnya bekerja, supaya kelak para penulis akan mencatat penderitaannya pada lembar-lembar kertas yang dibingkisnya setiap hari sebelum dikirim ke berbagai penjuru.

Sementara itu, di sela-sela kesibukannya belajar, Merah mengambil kerja paruh waktu di sebuah kedai kopi milik temannya. Itu dilakukannya setiap masuk sore dan akan pulang pada sekitar pukul sembilan malam. Sebelum berangkat, Merah biasanya masuk ke kamar Ketrin untuk meminjam peralatan make up, mereka menggunakannya secara kolektif supaya lebih hemat. Aku harap Listi dan Kurnia juga melakukan hal yang sama supaya mereka tidak banyak-banyak membawa barang kalau berpergian.

Sama dengan ibunya, Merah adalah perempuan yang memiliki sifat dingin. Merah sering melempar tatapan ganjil pada Ketrin atau neneknya. Merah hanya bersemangat bilamana sedang menceritakan keinginannya setelah tamat sekolah. Selepas bercerita, kata Ketrin, dia akan kembali membeku seperti es.

Hingga tiba pada suatu hari, Merah murka. Dia menjerit-jerit di dalam kamarnya setelah masuk sambil membanting pintu. Sejumlah barang pecah karena dilemparnya. Neneknya hanya diam saja, entah karena tidak mendengar atau memang tidak peduli lagi atau sedang berusaha memaklumi perangai remaja.

Lihat selengkapnya