Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #5

f

f

“Bagaimana keadaan mereka sekarang?” tanyaku.

“Kukira mereka sudah hidup bahagia. Merah berkuliah tanpa terkendala biaya, dan Ketrin sepertinya berhasil dengan usaha barunya berjualan sate dan perlahan-lahan telah memaafkan anaknya itu. Tapi Ketrin tidak pernah mau bercerita tentang ibunya lagi.”

“Untuk ukuran pengarang kau terlalu banyak tahu.”

“Aku sepuluh persen pengarang, sembilan puluh persennya lagi adalah pendengar,” kata Sumi seraya tertawa.

“Tapi kau harus lebih berjarak dengan tokohmu.”

“Terima kasih atas saranmu, akan kupertimbangkan.”

Kami tidak terlalu lama di museum. Bukan, bukan karena cerita yang disampaikan Sumi lebih menarik ketimbang isi pameran – lukisan-lukisan dan puisi-puisi yang bagai berdialog. Bagus sekali malah. Kami yakin tidak akan berhasil membuat replika dari satu pun karya seni yang ada di sana. Rumit, sekaligus menawan. Tapi sayang perut kami sudah lapar sekali, dan kami menyadarinya agak terlambat.

Sumi mengajakku keluar dari museum sejam sebelum pameran ditutup. Kami pergi ke daerah pasar Genteng dekat tunjungan, tempat kami berlangganan membeli ikan bakar. Daerah pasar Genteng terkenal sebagai tempat berjualan kuliner seafood. Menurut cerita dari mulut ke mulut, daerah ini memang tempatnya para pengrajin. Mulai dari perakit kapal, peralatan elektronik, sampai menjadi tempat besarnya tokoh-tokoh terkenal seperti Cak Durasim dan Doel Arnowo Walikota Surabaya tahun lima puluhan.

“Bagaimana kau berdoa sebelum memulai makan?” tanya Sumi.

“Aku tidak pernah berdoa,” jawabku.

Wajahnya nampak kecewa dengan jawabanku.

“Lalu kenapa kau selalu mengenakan kalung salib itu?”

“Ibuku akan marah bila aku melepasnya.”

“Bagaimana bila tidak?”

“Dia melakukan panggilan video hampir setiap malam. Repot kalau dilepas-pasang terus. Toh kalung ini juga cukup keren untukku.”

Kami memesan satu ikan gurami bakar, satu ikan patin bakar, seporsi cumi dan tumis kangkung. Minumnya tiga gelas es teh untuk berdua, sengaja dilebihkan satu sebagai tambahan. Kami makan tanpa banyak bicara. Dua sampai empat pengamen datang menghampiri kami secara bergantian. Sungguh mengganggu. Boleh saja kalau suara mereka bagus dan menyanyi sampai satu lagu selesai. Masalahnya, mereka datang dengan suara yang terdengar kurang terlatih, dan berhenti bernyanyi ketika diberikan uang. Kami dibilang pelit kalau terlambat memberikan uang. Kerap kali menyindir dengan bilang begini: “Enak sekali bisa makan enak,” sambil dilagu-lagukan.

Sumi malah terhibur melihatku kesal karena pengamen-pengamen itu. Ia tertawa sampai tersedak. “Kau lucu kalau sedang marah begitu.” Kuakui, tidak sekali ini orang-orang menganggapku lucu. Teman-temanku, keluargaku, bahkan mantan-mantan pacarku. Mungkin karena aku punya kulit putih, sehingga kalau marah darahku bisa mencuat ke atas sampai menimbulkan warna merah di wajahku.

“Aku marah sungguhan, lho.”

Sumi tersenyum dan kembali menyantap makanannya. Tidak lama setelah pengamen terakhir pergi, seorang lelaki tua datang menghampiri kami. Ia menawarkan kerupuk pada kami. Katanya sejak pagi belum satu pun kerupuknya terbeli. Sungguh logiku yang aneh, pikirku. Bagaimana bisa penjual kerupuk tidak laku sepeser pun saat melapak di tempat kuliner seramai ini. Sangat sulit dibayangkan orang-orang makan tanpa kerupuk. Ditambah lagi makanan yang pakai sambal. Nyaris tidak mungkin.

“Belilah barang dua bungkus,” kata Sumi.

Lihat selengkapnya