g
Sore ini kami tidak bertemu di Art Date, melainkan di Surabaya North Quay. Sebuah tempat yang menjadi bagian dari Pelabuhan Tanjung Perak. Surabaya North Quay tepatnya berada di bagian atas Terminal Gapura Surya. Dari sana, kita bisa leluasa melihat kapal-kapal yang berlabuh, juga menikmati laut yang memantulkan kilau matahari.
Sore ini langit begitu bersih, burung-burung menyapu udara. Sumi memesan jus jeruk, sedangkan aku memesan kopi susu seperti biasanya, dan tiga bungkus kacang kemasan.
“Aku sangat menyukai Pramoedya dan mengenal dia dengan baik,” kata Sumi sambil membenarkan posisi duduk layaknya sedang bersiap menjelaskan hal yang serius.
“Maksudmu Pramoedya Ananta Toer?” tanyaku.
“Betul, menurutmu siapa lagi?”
Sebelumnya Sumi pernah bercerita padaku, bahwa ia pernah menginginkan kuliah di jurusan sastra Indonesia. Sebenarnya tidak benar-benar berminat, hanya saja keinginan itu terbit sebagai bentuk penghormatan terhadap mendiang adiknya yang meninggal karena penyakit jantung dan Ibunya yang seorang penyair. Dari ibunya, Sumi dan adiknya suka membaca puisi dan prosa setiap sebelum tidur.
Namun di menit-menit terakhir pendaftaran jurusan, Sumi mengganti orientasinya ke ilmu komunikasi. Menurut Sumi, sastra berfungsi sebagai medium komunikasi dari penulisnya untuk pembaca. Nah, sebelum mencapai ke sana, Sumi ingin mempelajari tujuan dari komunikasi itu sendiri. Sebelum lanjut mengenal sastra lebih jauh.
Tapi kalau dipikir-pikir siapa sih yang kepengin ambil risiko dengan keilmuan yang kurang adaptif dengan kebutuhan modern itu. Maksudku sastra, yang peluang kerjanya sedikit sekali. Lebih-lebih di industri-industri modern. Temanku yang dulunya berkuliah di jurusan sastra kini hanya sibuk membuat status facebook. Meski sebenarnya ada juga temanku yang pernah berkuliah di jurusan sastra sekarang sukses dengan usahanya masing-masing. Mulai dari membuka penerbitan, jasa penyuntingan sampai sebagai penulis lepas. Memang sedikit peluang menjadi pekerja, tapi bukan berarti tak punya peluang menjadi bos. Meski kukira pertimbangan Sumi bukan pada orientasi kapitalnya, melainkan lebih secara filosofis saja.
“Aku tidak pernah membaca buku-buku Pram. Meski aku juga mengaguminya dari cerita orang-orang,” kataku.
“Bukuku masih tersimpan di rumah, besok akan kubawakan untukmu. Bacalah,” pungkasnya.
“Terlalu tebal adalah alasanku kenapa belum membacanya sampai hari ini,”
“Kau hanya malas. Harusnya kau lebih bersyukur diberikan umur yang panjang. Gunakanlah umur itu untuk membaca minimal satu dari karya-karya Pram.”
“Kenapa begitu?”
“Akan kuceritakan sesuatu, ini agak mirip dengan kisah hidupku. Ini tentang Lisa.”
Sumi pernah menceritakan seorang sahabatnya yang bernama Lisa. Aku juga mengenal Lisa dari Sumi, tapi aku tidak mengetahui lebih jauh tentangnya. Sebab seingatku Lisa putus kuliah entah karena apa. Kami tidak sempat bertemu lagi karena itu. Kalau nanti aku menikah dengan Sumi, sepertinya Lisa memang perlu masuk daftar undangan.
“Tapi cerita ini kudapatkan dari pacarnya setelah Lisa putus kuliah. Pacarnya itu meminta supaya aku membawakan kisah Lisa di radio.”
Sumi mulai bercerita.
*
Lisa dan pacarnya belajar di perguruan tinggi yang sama, hanya saja berbeda jurusan. Lisa mengambil jurusan sastra, sementara pacarnya adalah senior di jurusan hukum. Mereka saling mengenal dua tahun setelah Lisa dilantik sebagai mahasiswa baru. Mereka bertemu di terminal kampus, tempat bus mengangkut mahasiswa yang tidak bawa kendaraan pribadi. Waktu itu mata Lisa adalah laut yang mampu menenggelamkan perhatian Rama, nama pacarnya itu. Aduh, bagaimana ya mengungkapkannya. Pokoknya Lisa itu perempuan yang cantik. Seandainya aku adalah seorang lelaki, maka aku mungkin akan mengejar-ngejar Lisa supaya mau jadi pacarku.
Pada suatu hari mereka bertemu di sini. Di tempat kita duduk sekarang. Rama bercerita tentang kesukaannya pada Pramoedya sementara Lisa baru mengenal nama itu dari senior-seniornya di kampus alih-alih dari dosen.
Lisa mengambil jurusan sastra karena terpengaruhi ibunya. Persis aku. Pengaruh ini lebih pada konotasi yang positif lho, ya. Sayang sikap Lisa dan bapaknya berbeda. Bapaknya yang seorang tentara itu menginginkan Lisa berkuliah di jurusan hukum. Tapi berkat dukungan dari ibunya, Lisa pun akhirnya tetap mengambil jurusan yang diinginkannya. Namun semangat Lisa belajar sastra kian memudar setelah ibunya meninggal. Ibunya meninggal beberapa bulan setelah Lisa dilantik sebagai mahasiswa baru di jurusan sastra. Sejak saat itu bapaknya sering marah-marah pada Lisa. Buku-buku koleksi ibunya bahkan sudah banyak yang hilang, entah dibuang atau disumbangkan. Beruntung sebagian kecil masih bisa disembunyikan Lisa di bawah kasurnya.
Saat itu Lisa berulangtahun dan oleh Rama ia diberikan kado berupa buku Bumi Manusia milik Pram. Kau tahu apa yang terjadi keesokan harinya setelah Lisa menerima kado itu?
Mata sebelah kiri Lisa memar seperti habis kena bogem. Dan buku Bumi Manusia dikembalikannya pada Rama dalam kondisi hangus seperti habis dilalap api. Kata Lisa waktu itu: “Maaf, aku tidak becus menjaga pemberianmu.” Lisa mengembalikannya dengan tangan yang dilapisi oleh potongan kain. Tangannya terluka cukup parah akibat menyelamatkan buku itu. Sungguh Lisa yang malang.
*
“Apakah sekarang Lisa sudah bersama Rama?” tanyaku pada Sumi.
“Kuharap begitu. Sebab di pertemuan kami yang terakhir, Rama menyuruhku untuk tidak terlalu mengkhawatirkan Lisa lagi.”
Sumi diam beberapa saat, kemudian menunjuk sesuatu di kejauhan. Segerombolan tentara yang hendak menaiki kapal. Masing-masing mereka diantar oleh pacarnya. Salah satu tentara punya pacar yang mengenakan pakaian mirip seperti punya Sumi. Dress bermotif kembang. Kami memperhatikan tentara itu. Terang mukanya nampak sedang menahan tangis, sedangkan pacarnya sudah berlinang airmata. Barangkali mereka sedang berpikir, apakah selanjutnya mereka bisa bertemu kembali atau pelukan mereka sekarang justru menjadi yang terakhir.
“Kau sedang demam?” tanya Sumi.
Mungkin Sumi terlambat memperhatikanku yang sejak tadi sibuk menahan batuk kering. Aku sempat curiga dengan seorang pasien yang kemarin datang ke klinikku dalam keadaan flu. Padahal sudah kubilang padanya agar tidak bertemu dulu kalau sedang sakit. Mungkin darinyalah batuk keringku ini berasal.
“Sepertinya begitu.”
“Sudah kukatakan padamu, sebaiknya libur saja sebentar, beristirahatlah dan habiskan waktu denganku. Lagi pula psikiater di kota ini tak hanya kau. Jadi kau tak perlu merasa bertanggung jawab begitu.”
“Tapi mereka percaya padaku.”
“Suruh saja mereka langsung ke rumah sakit jiwa.”
Benar kata Lisa, aku mungkin memang harus mengambil libur beberapa hari untuk memulihkan kesehatanku. Sebenarnya dulu aku pernah libur selama seminggu, tapi setiap malam sepanjang liburanku, tidurku selalu dihantui mimpi buruk. Mimpi ini datang dari ketakutanku. Maksudku begini, banyak orang yang percaya padaku. Mereka menceritakan sesuatu yang bahkan paling rahasia sekali pun. Aku merasa takut bila tak mampu bertanggung jawab atas semua kepercayaan mereka. Libur terlalu lama membuatku sering bertanya-tanya, apa kabar klienku hari ini?
Mimpi yang disebabkan ketakutan itu biasanya muncul dalam bentuk yang mengerikan dan metaforis. Dalam mimpiku misalnya, aku melihat diriku berlari sangat kencang, dan para mayat hidup yang datangnya entah dari mana mengejarku sama kencangnya walau dengan kaki terpincang-pincang. Mereka memanggil-manggil namaku: “Balbo!”
Mimpi seperti ini terus menyusup ke tidurku setiap aku mengambil libur. Mirip seperti yang dikatakan Sigmund Freud dalam teorinya soal tafsir mimpi. Ketakutan akan mengendap di alam bawah sadar manusia, dan mencuat ke alam sadar ketika manusia sedang tidur. Proses kembalinya ketakutan dari alam bawah sadar ke alam sadar manusia inilah yang menciptakan gambar bergerak dalam mimpi manusia. Tidak selalu ketakutan memang, tapi ingatan tentang ketakutanlah yang paling sering ingin dikubur oleh manusia supaya tak mengganggu kehidupan di alam sadar.
“Kau tahu, aku punya cerita tentang rumah sakit jiwa,” kataku.
“Ah, iya. Kau pasti punya banyak cerita tentang itu, kenapa aku tidak memanfaatkanmu sejak dulu, ya?”
“Hahaha...”
“Cepat, ceritakan padaku,” kata Lisa, kemudian memutar posisi duduknya menghadapku dari yang sebelumnya pada posisi bersisian.
“Aturannya sama seperti yang kau buat,”
“Tidak boleh menyela atau memprotes, bukan?” tanya Lisa.