Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #7

h

h

Setelah dari Surabaya North Quay, kami melanjutkan kencan ke sebuah pasar malam di daerah Pacar Kembang. Di tempat itu ada banyak sekali hiburan. Mulai dari pertunjukan drama, kolam bola, tong setan, ombak banyu, rumah hantu, kincir ria dan para penjual manisan. Pertama-tama kami menonton pertunjukan drama yang memainkan naskah putri salju. Perempuan yang memerankan putri salju itu dasarnya berkulit cokelat. Tapi warna itu menjadi samar-samar karena tertutupi timbunan bedak dan riasan di wajahnya.

Kami tidak menonton sampai selesai, karena Sumi buru-buru menarikku ke loket karcis kincir ria. Kami mengantre di belakang sepuluh pasangan lain.

“Apa yang kira-kira akan mereka bicarakan di atas sana?” tanya Sumi.

“Mungkin saja mereka tidak berbicara secara verbal,” jawabku.

“Setiap kabin kincir ria menyimpan cerita cinta.”

Sumi menggerak-gerakkan telunjuknya ke arah kincir ria seperti sedang menghitung jumlah kabin yang berputar.

“Bayangkan, seandainya kita bisa mendengar seluruh isi percakapan orang-orang yang sedang duduk di dalam sana. Pasti cerita mereka akan menarik bila dikumpulkan,” kata Sumi lagi.

Kami mengambil dua karcis. Masuk ke kabin nomor tujuh belas, dan duduk saling berhadapan. Pelan-pelan kincir ria mulai berputar, kami bagai melayang ke langit. Untuk sesaat kami hanya bisa terpaku, menyaksikan betapa gemerlapnya kota Surabaya dari ketinggian. Sumi mengambil beberapa foto.

Namun sungguh aku lebih terpukau melihat kecantikan Sumi ketimbang hamparan gedung-gedung tinggi itu. Sumi mewarnai bibirnya dengan lipstick merah-muda, betapa perhatianku telah tenggelam ke sana sekarang.

“Kau bisa memandangiku lagi setelah kita turun dari sini. Lihatlah ke sana, lampu-lampu memantulkan cahaya dengan warna yang beragam,” katanya seraya memasukkan kembali lipstick merah-muda itu ke dalam tas selempang kecilnya.

“Kenapa tidak menggunakannya ketika sudah turun? Kan di bawah cahaya lebih banyak.”

“Aku tidak suka kalau dilihat berdandan oleh banyak orang.”

Sumi memegang pipiku dengan kedua tangannya, lalu memalingkannya hingga pandanganku tertuju pada kota yang entah di mana batasnya: “Lihatlah ke arah sana,” katanya memaksaku.

Di luar kesadaranku, tiba-tiba bibirku melenting ke bibir merah muda Sumi. Dalam situasi hening, aku bisa merasakan jantungku seakan ingin mencuat seperti pegas. Aku juga bisa merasakan kelembutan bibir Sumi yang menyapu kemarau panjang di bibirku.

Sumi melepaskan ciumanku pelan-pelan. Melempar pandangannya keluar, dan kami tidak mengatakan apa-apa lagi hingga kami turun setelah kincir ria selesai berputar sebanyak lima kali.

“Maaf,” ujarku.

“Harusnya kau meminta izin dulu.”

“Maaf,” kataku lagi.

“Hanya maaf?”

“Lalu apa lagi, Sumi?” kataku mengiba.

“Gula kapas. Lihat warna bibirku memudar gara-gara kau,”

Sumi menunjuk bibirnya dengan berlagak manja seperti perempuan kecil. Ia menunduk malu, kemudian berjalan cepat-cepat mencari gula kapas.

“Kupikir kau adalah seorang liberal,” kataku sambil tertawa.

“Untuk urusan percintaan, aku mau menjadi fasis,” katanya, sambil melahap habis gula kapas yang digenggamnya.

“Wajahmu terlalu imut untuk ukuran seorang fasis,”

“Hitler juga punya wajah yang imut.”

Kami kemudian makan mi ayam di sekitar tempat pasar malam digelar ketika gerimis mendadak muncul menjelma tirai-tirai tipis di antara keramaian kota. Namun warna langit kota Surabaya, masih merah muda, seperti warna lipstick dan gula kapas.

Mi ayam berasal dari Tiongkok Selatan, terutama di daerah-daerah pelabuhan seperti Fujian dan Guandong. Ayah yang memberitahukannya padaku. Meski begitu, mi ayam yang dijual di Indonesia ini, tidak mirip dengan yang ada di Tiongkok. Besar kemungkinan, ketika mi ayam datang ke Indonesia, ia mengalami semacam penyesuaian budaya sehingga melahirkan bentuk baru.

Demikian pula ketika orang-orang dari daratan Tiongkok itu membawa agama Islam ke Nusantara. Islam yang berasal dari mereka, berbeda dengan Islam yang disebarkan oleh para pedagang Arab. Dalam bukunya berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Slamet Muljana mengungkapkan, bahwa para Sunan yang berperan banyak dalam penyebaran agama Islam di Jawa, pada mulanya memiliki varian nama Cina, seperti: Sunan Kali Jaga atawa Gan Si Cang, dan Sunan Gunung Jati atawa Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, atawa Sultan Trenggana. Lain lagi dengan Laksamana Cheng Ho yang berasal dari Dinasti Ming. Dalam ekspedisi Nusantara-nya, Cheng Ho dikenal memiliki nama Islam sebagai Mahmud Shams.

Dan dari mana asal Pasar Malam yang sekarang ini kudatangi bersama Sumi? Jawabannya sama dengan dua kasus di atas. Yakni daratan Tiongkok. Tepatnya pada zaman Dinasti Sui. Pasar malam kemudian diadaptasi oleh pemerintah Hindia-Belanda pada awal abad dua puluh yang digelar di Koningspleuin, Batavia, ketika merayakan ulang-tahun Ratu Wilhelmina dari Belanda.

Sejak Orde Baru, semua sejarah yang berkaitan dengan Tiongkok itu dikubur. Bahkan kata “Tiongkok” atau “Tionghoa” saja diganti dengan kata “Cina” untuk mengidentifikasi identitas kelompok ini. Ayahku juga dipaksa mengganti namanya menjadi lebih Indonesia, sekarang ia dikenal dengan nama Anton. Sebenarnya tak ada masalah bagiku bila memang “Tionghoa” diganti dengan “Cina” atau apa punlah. Namun ayahku tidak amat nyaman ketika dipanggil “Orang Cina”. Nama ini mengingatkannya pada dua cerita penting yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga kami: Pertama, diskriminasi rezim Orde Baru terhadap orang Tionghoa. Kedua, ejekan fasis Jepang kepada orang Tionghoa yang memaknai kata “Cina” sebagai “Daerah Pinggiran” atau “Orang Udik”.

“Aku tidak peduli meski kau berasal dari kerak neraka atau bahkan memiliki keturunan iblis sekali pun, aku akan tetap mencintaimu,” kata Sumi setelah aku menjelaskan sejarah-sejarah itu kepadanya.

“Hahaha...”

“Aku pernah membawakan cerita tentang perempuan Tionghoa di radio. Namanya Josephin, dan Albert sangat mencintainya. Kukira Josephin sudah mengetahui perasaan Albert.”

“Apakah tidak masalah kalau kami duduk di sini lebih lama?” tanyaku pada penjual mi ayam yang sedari tadi sibuk mencuci mangkok.

“Silakan, Mas,” jawabnya.

“Baik, lanjutkan,” kataku.

“Cerita ini kudapatkan dari Albert. Ia tidak meminta namanya disamarkan, karena ia berharap Josephin dapat lebih memperhatikannya setelah ceritanya kubawakan di radio.”

Lihat selengkapnya