i
Sumi mengambil jatah cutinya selama seminggu terhitung mulai hari ini. Aku bersedia menerima ajakannya untuk menemaninya pulang ke Lombok. Bukan karena terpaksa, melainkan kebetulan aku juga butuh liburan seperti yang pernah dikatakan Sumi sebelumnya. Aku mengambil libur selama seminggu. Kukabarkan pada semua klienku agar menunda pertemuan sampai waktu yang telah ditentukan.
Kami memesan tiket pesawat secara daring. Dari jadwal yang tertera, kami akan sampai di Lombok pada pukul sembilan lewat lima belas. Aku hanya membawa sebuah tas ransel guna menghemat beban, serta beberapa potong pakaian saja.
Di bandara, kami hampir terlambat naik pesawat karena barang bawaan Sumi harus digeledah oleh petugas di area pemeriksaan. Sumi diinterogasi sebentar karena ketahuan membawa belati, silet, korek api, dan borgol. Seorang petugas yang mengetahui bahwa Sumi merupakan salah seorang penyiar di sebuah stasiun radio akhirnya meloloskannya. Petugas itu sempat mengambil foto bersama Sumi sebelum mengizinkannya pergi. Begitu juga para petugas lain yang mengetahui kabar keberadaannya ikut-ikutan mengantre berfoto bersama Sumi. Aku pun tak pelak menjadi juru foto dadakan bagi mereka.
“Aku punya banyak cerita yang bisa disiarkan, Mbak Sumi!” kata seseorang berteriak di tengah kerumunan.
“Ceritaku lebih menarik darinya!” kata seseorang lain ikut-ikutan berteriak.
“Cerita kalian berdua hanya seputar bandara saja, biarkan aku yang diwawancarai oleh Mbak Sumi!” begitu seterusnya kerumunan itu membuat keributan.
Sumi hanya tertawa menanggapi penggemarnya.
“Silakan kirimkan potongan cerita kalian ke facebook-ku, kalian akan segera kuhubungi kalau cerita yang kalian tawarkan menarik,” Sumi melambaikan tangan, lalu lari terbirit-birit karena operator telah memanggil nama kami agar segera naik ke pesawat.
Ketika kutanya untuk apa ia membawa semua barang-barang itu, Sumi tidak menjawab. Aku pun tidak menanyakan itu lebih jauh, pikirku mungkin untuk keperluan pribadinya yang tak boleh kuketahui. Atau mungkin belum saatnya aku mengetahui itu. Sumi mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain.
“Banyak pramugari yang menjadi perawan tua,” katanya.
“Walau begitu mereka akan tetap cantik meski sudah pensiun sekali pun,” timpalku.
“Benar, itu tak bisa dipungkiri. Pria mana yang mampu menolak pramugari.”
Sesudah pramugari selesai menjelaskan rambu-rambu keselamatan, pesawat segera lepas landas. Sensasinya mirip saat menaiki kincir ria kapan hari.
Pesawat terbang di atas gumpalan awan, yang di bawahnya terdapat kilatan-kilatan cahaya dari permukaan laut. Sumi menatap ke luar sebentar, sambil memegangi tanganku. Menempelkan telapak tanganku dan telapak tangannya di kaca jendela. Ketika pesawat sudah mengudara secara stabil, Sumi menutup tirai jendela, dan bersandar ke lenganku.
“Balbo...”
“Apa?” timpalku.
“Ceritakan aku sesuatu, apa pun.”
“Sebentar, mau kugali dulu ingatanku.”
“Jangan lama-lama.”
“Pasti lama, karena di pikiranku terlalu banyak kau-nya.”
Sumi mencubit lambungku.
“Ceritakan sampai aku bisa tidur,”
“Beres, nyonya.”
Aku mulai bercerita.
*
Para pendaki bukit Firdaus banyak yang pulang dengan kondisi penuh luka di tubuhnya. Mendaki bukit Firdaus sama artinya dengan bertaruh nyawa. Sering pendaki tidak menyadari, ketika mereka tiba-tiba kembali dalam keadaan kuping tersobek, jari telunjuk putus, kepala menguban. Seolah-olah jauh di atas sana, mereka telah melewati dimensi kematian.
Sebelum memulai perjalanan, para pendaki dianjurkan berpuasa terlebihdahulu paling tidak selama seminggu untuk melatih kesabaran. Konon di atas sana, pendaki akan dihadapkan berbagai ujian. Mereka yang tidak lolos dari ujian itu, dapat dipastikan gagal mencapai puncak Firdaus. Ditambah lagi, sepanjang perjalanan, mereka tidak boleh melihat bola matahari, kecuali saat matahari sudah terbenam. Bilamana dilanggar, maka langkah mereka akan dihadang banyak sekali jalan berlubang hingga disudutkan ke tepi jurang oleh para arwah penghuni bukit.
Menurut cerita, di puncak Firdaus ada sebuah telaga yang wanginya bagai kembang. Air dari telaga itu berkhasiat memperpanjang umur seorang manusia dan menghilangkan kerutan pada kulit wajahnya. Ada juga versi lain yang menuturkan, bukit Firdaus tidak lebih dari sekadar tempat pemotongan kepala anggota PKI. Namun versi yang terakhir ini cenderung ditutupi-tutupi karena dianggap tabu dan mengerikan.
Dari kabar yang beredar di dusun itu, sudah sembilan orang berhasil mencapai puncak Firdaus dan beratus-ratus lainnya gagal. Adapun kesembilan pendaki tersebut menghilang tidak lama setelah kabar tentang keberhasilan mereka menyebar. Semacam musafir yang ditelan rahasia.
Mitos tentang bukit Firdaus menjadi cerita rakyat yang terus diwariskan beratus-ratus keturunan di dusun tempat Ubed dilahirkan. Ubed telah lama mengidam-idamkan menjadi orang kesepuluh yang akan berhasil mencapai puncak Firdaus. Karena sesungguhnyalah, tak seorang pun bisa berbohong dengan membuat pengakuan-pengakuan palsu bahwa dirinya pernah mencapai puncak Firdaus. Sebab, bila itu dilakukan, seseorang yang melakukan kebohongan semacam itu bisa menjelma siluman sebagaimana hewan-hewan liar yang hidup di bukit Firdaus. Mereka dikutuk dan akan selamanya berkeliaran di sana.
“Kau akan berangkat seorang diri?” tanya Laras, kawan Ubed yang dikenalnya sejak mulai belajar mengaji di surau sewaktu kecil dulu. Mereka juga sering mencari rumput untuk sapi, menjual apel dan sebagainya. Semuanya mereka lakukan berdua. Tapi kali ini tidak untuk pergi ke puncak bukit Firdaus.
“Aku sudah siap,” ujar Ubed meyakinkan.
“Ibumu sudah merestui?”
“Tidak. Aku akan pergi tanpa sepengetahuannya.”
“Celaka. Sungguh kau akan melakukannya?”
“Sungguh. Untuk apa berpikir dua kali?”
“Untuk keselamatanmu, untuk apalagi memangnya?”
Ubed menyesap kopi miliknya. Mereka sedang menghabiskan waktu di sebuah warung yang letaknya di kaki bukit Firdaus. Penjaga warung itu bernama Nenek Siti dan Kakek Sulaiman. Suara Nenek Siti kecil sekali kalau bicara, nyaris tidak terdengar. Kalau berjalan agak membungkuk dengan daun sirih di mulutnya.
Sementara Kakek Sulaiman adalah seorang lelaki tua yang jarang mengenakan baju, hanya sarung yang selalu membungkus bawahannya. Padahal di tempat mereka berjualan, udaranya sangat dingin, sampai bisa menempel ke tulang. Semua orang di dusun mengenal Kakek Sulaiman. Bagaimana tidak, wajahnya begitu mudah diingat, bergigi tonggos, telinganya lancip ke atas, bibirnya hitam dan tebal, rambutnya nampak tidak pernah dirawat. Berbeda dengan Nenek Siti yang kesulitan bersuara keras dan jarang turun ke dusun, Kakek Sulaiman malah punya pendengaran yang kurang bagus tapi suka bersosial.
Mereka adalah sepasang suami-istri yang bertahan hidup dalam keterbatasan masing-masing. Entah berapa usia mereka sekarang, yang pasti, mereka mendirikan warung di kaki bukit Firdaus sudah sejak lama dan menjadikan warungnya sekaligus sebagai tempat tinggal.
“Ada jalan cepat menuju puncak Firdaus,” kata Kakek Sulaiman menyela di tengah percakapan Ubed dan Laras.
“Sejak kapan orang itu peduli dengan percakapan kita?” tandas Laras.