Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #9

j

j

Pukul enam lewat delapan belas sore, azan terdengar dikumandangkan dari kejauhan. Orang-orang yang melingkar tadi bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju rumah masing-masing. Kecuali Iwan, yang masih memutar-mutarkan kambing di atas api. Aku bergegas ke kamarku, berlagak tidur.

“Kemari, ikut aku,” ajak Sumi dari ambang pintu seolah-olah ia tahu aku tidak sungguh-sungguh tidur.

Aku bangkit dan dengan ragu-ragu mengikutinya. Sumi dan wanita tua itu mengenakan mukena. “Tunggulah sebentar di sini, tidak baik magrib-magrib malah tidur,” ia meninggalkanku di ruang tamu, lalu masuk ke kamar wanita tua itu. Dari celah pintu, dibantu pencahayaan lampu templok, aku melihat mereka sedang salat.

“Bantu aku,” katanya setelah selesai salat.

Kami berjalan menuju dapur.

“Sebentar, mau pipis,” kataku. Aku meminjam lampu templok yang dibawa Sumi.

Aku masuk ke kamar pembuangan berukuran dua kali tiga yang hanya tertutup tirai. Andaikata tirai ini menghilang, maka tampaklah dapur dan kamar pembuangan seperti menyatu.

“Cepatlah!” panggil Sumi.

Aku buru-buru membereskan urusanku, dan membantunya mengangkat sebuah panci besar berisi air panas. Kami membawanya menuju lingkaran manusia yang sekarang sedang sibuk memotong-motong bebuahan.

Sumi belum menjelaskan padaku terkait apa yang sedang terjadi. Kendati kepalaku sudah diserbu ribuan asumsi dan pertanyaan-pertanyaan yang siap melesat bagai anak panah.

Tiba-tiba wanita tua itu kembali menggoyang-goyangkan lonceng, hening menyambutnya, mengambil posisi siap, dan ia mulai berbicara: “Siapa yang mengira dia akan pergi?”

“Dia dituduh merah, padahal dia hanya sibuk bertani, berkeringat, dan niat putih menghidupkan keluarganya. Malik anak laki-lakiku satu-satunya itu diangkut paksa ke dalam truk dan tidak pernah kembali sampai hari ini. Sampai anaknya tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik dan pintar, sampai istrinya mati karena kesepian.”

Dilanjutkan oleh orang-orang lain dalam lingkaran itu yang menyampaikan cerita serupa dengan masing-masing tokoh yang berbeda.

Mata Sumi berkaca-kaca. Entah karena terlalu dekat dengan panas api, atau cerita wanita tua itu telah membangkitkan suatu kesedihan dalam jiwanya.

“Malik harusnya menikmati semua ini bersama kita sekarang, oh, anakku yang malang. Berikanlah keselamatan baginya, Tuhan!” pekik wanita tua itu parau.

Lonceng kembali digoyang-goyangkannya. Buah-buahan yang sudah dipotong, kemudian dibagikan menggunakan piring untuk setiap orang yang hadir. Daging kambing dikerat menjadi potongan-potongan setelapak tangan, juga dibagikan secara merata. Termasuk aku yang sertamerta menjadi bagian dari mereka. Kami makan bersama, tampak kebahagiaan bercampur kesedihan hadir di antara mereka. Sementara mata Sumi, masih dalam keteduhan yang tak bisa dijelaskan.

Aku pelan-pelan mengerti, pertanyaan tentang siapa Sumi masih menyimpan jawaban panjang yang terlalu cepat bila kuketahui sekarang.

Inaq-inaq,” Sumi menepuk-nepuk tangannya, dan orang-orang yang sedang asyik menikmati santapan beralih memandangnya. “Ini temanku, panggil saja Balbo. Datang dari Surabaya untuk menemaniku pulang. Katanya dia khawatir kalau aku akan kenapa-kenapa di jalan,” kata Sumi, dibalas ledakan tawa oleh orang-orang yang mendengarnya.

“Ajaklah temanmu keliling dusun besok pagi, orang kota biasanya senang walaupun hanya sekadar melihat sawah dan sungai,” kata Lilik. Perempuan yang usianya sebaya dengan Sumi.

Aku melewati malam pertamaku di Lombok dalam suatu perayaan yang misterius. Yang kuketahui sampai sejauh ini, bahwa kambing panggang itu rasanya enak sekali, dan buah-buahan membuat mulutku tidak amis meski habis menelan sisa-sisa darah yang menempel pada daging kambing. Perayaan ditutup dengan acara minum kopi dan teh panas, setiap teguknya mengalirkan sensasi hangat ke dalam tubuh, menghalau udara dingin yang terus berusaha menerobos masuk menembus kulit.

*

Sumi mengajakku pergi ke halaman belakang rumahnya, tepatnya ke dekat sebuah sumur tempat bebek-bebek entah milik siapa itu diberi minum.

“Lepas pakaianmu dan bersihkanlah tubuhmu di sini,” perintah Sumi.

Aku menengok ke sekelilingku. Ada sejumlah orang yang sedang mengusir hama di sawah, dan beberapa lagi sedang menjemur pakaiannya. Termasuk Lilik yang tinggalnya dekat dengan rumah Sumi.

“Aku tidak terbiasa dengan ini,” kataku.

Dengan ragu-ragu, aku melepaskan bajuku, dan celana pendek berbahan jeans yang belum kuganti sejak sampai di Lombok. Sumi menimba air dari Sumur dan menumpahkannya ke tiga ember besar di sekeliling sumur. “Sebentar, kuambilkan handuk, sabun dan sikat gigi.”

Sumi menyuruhku membasahi tubuhku terlebihdahulu, sementara ia pergi mengambilkan barang-barang yang kuperlukan. Dengan hanya berbalut kolor, aku mulai menyiram tubuhku. Air di sini jauh lebih segar ketimbang yang biasanya kugunakan mandi di Surabaya.

“Air ini tidak akan kering meski melewati kemarau panjang sekali pun. Amaq Har tidak pernah gagal menembus sumber mata air.”

Amaq Har?” tanyaku sambil membuka tutup odol.

Amaq Har, dia adalah seorang penggali Sumur di dusun ini. Ilmunya sudah terbukti tinggi, banyak keluarga terselamatkan olehnya saat kemarau.”

Ayahku juga pernah bercerita, bahwa dulu di kampung kami banyak orang yang bekerja sebagai penggali sumur. Sebuah wilayah Tionghoa yang profesi penduduknya, kalau bukan penggali Sumur ya berdagang bahan bangunan.

Dulu aku punya tetangga yang bernama Acong, ia juga bekerja sebagai penggali sumur. Aku sering ikut dengannya setiap kali ia pergi bekerja, sampai suatu hari Acong memutuskan pensiun setelah menemukan harta karun berupa emas yang banyak di sebuah rumah tua dekat pelabuhan Perak.

“Ceritanya mirip seperti Cerpen Sumur Keseribu tiga karya A.S Laksana,” kata Sumi menanggapi ceritaku. Ia menimba air lagi, terus bertanya: “Kau sering bercerita tentang ayahmu, tapi tidak pernah bercerita tentang ibumu. Bagaimana dengannya?”

“Entahlah, ayah tak pernah menyinggung soal Ibu. Aku bahkan belum pernah melihat fotonya,” jawabku.

Aku enteng saja menjawabnya. Sebab teman-temanku yang lebih dulu mengenalku, sering pula menanyakan hal sama. Dan format jawabanku masih tidak berubah. Karena memang begitulah kenyataannya. Ayah selalu berkata bahwa ibu sudah pergi jauh. Mungkin hanya keajabain yang dapat mempertemukan kami suatu hari nanti, katanya. Begitulah ayah menenangkanku ketika suatu hari aku menangis karena menjadi satu-satunya anak di kelas yang tidak pernah diambilkan raport oleh ibunya.

Waktu itu aku masih belajar di sebuah SD yang didominasi orang-orang beretnis Arab. Dalam tradisi Arab, wanita lebih banyak waktu luang ketimbang laki-laki. Para wanitalah yang biasanya datang untuk keperluan-keperluan di sekolah. Berbeda dengan Tionghoa, yang baik laki-laki dan perempuan, punya fungsi gender yang agak sama. Meski itu sebenarnya masih bisa diperdebatkan.

Lihat selengkapnya