l
“Kapan peristiwa itu terjadi?” tanyaku pada Sumi.
“Kira-kira tidak lama sebelum reformasi,” jawabnya.
“Bagaimana bisa?”
“Bisa, karena isu terkait kejahatan komunis masih santer dibicarakan. Propaganda itu kukira masih laku bahkan sampai hari ini.”
“Maksudku, pada masa-masa memanasnya reformasi saja, orang-orang di pemerintahan yang punya tendensi terhadap komunis bukankah sebagian besar sudah mundur?”
“Itu hanya terjadi di tataran nasional, sedangkan kenyataan di daerah-daerah kecil masih tak ada ubahnya. Bahkan pasca reformasi.”
Sumi bangkit dari duduknya, mengambil dua gelas kopi di dapur – kemudian berjalan lagi ke dapur dan kembali dengan membawa nampan berisi nasi, ayam goreng, serta lumuran sambal tomat.
“Tapi, Sumi...”
“Apa?”
“Tapi apa benar ayahmu seorang komunis?”
“Tentu saja tidak. Lagi pula kalau pun ia terlibat dalam partai itu, apa masalahnya? Kalau memang masalah, kenapa harus diperlakukan begitu?”
Sumi menyesap kopi: bintik-bintik hitam tertinggal di garis bibirnya. Pasti pahit, batinku. Sebab dari caranya mengerutkan mata nampak seperti orang yang tidak sengaja mengunyah biji jeruk. Dan aku agak kurang selera dengan minuman atau makanan pahit.
“Agak asam.”
“Tapi ada pahit-pahitnya juga, kan?”
Aku menghirup aroma kopi yang sedap, sambil berkompromi dengan seleraku yang kurang adaptif. Saat aku hendak berbicara lagi, Sumi menyelaku: “Mari kita makan dulu, bung. Nasinya nanti bisa dingin kalau terlalu lama dibiarkan begini.”
“Tak perlu pakai piring?”
“Kau mau romantis atau tidak?”
“Benar, aku sampai lupa kalau kita sudah pacaran.”
Kami makan begitu lahap. Padahal aku sebenarnya belum terlalu lapar. Nasi yang tadinya membentuk bukit kecil di atas nampan itu habis tanpa sisa. Kami hanya meninggalkan sepasang tulang paha dan sepasang tulang sayap seekor ayam yang barangkali sudah berbahagia di surga karena pengorbanannya hari ini.
“Sumi...”
“Sebentar,” Sumi pergi mengambil dua gelas air putih dan memberikan satunya untukku. “Apa?”
“Terima kasih,” aku menghabiskan segelas air putih itu dengan dua kali teguk, “bagaimana hubunganmu sekarang dengan Fadli?”
“Kupikir penolakan ayah terhadap tawaran perjodohan itu membuat urusanku dengan Fadli selesai, nyatanya ia benar-benar menyukaiku dan masih mengejarku, padahal ia sudah punya istri.”
Terdengar suara langkah kaki mendekat dari arah luar. Sesaat kemudian suara seorang perempuan memanggil-manggil nama Sumi. Lilik berdiri di ambang pintu. Lilik, yang pernah sekilas kuperhatikan wajahnya ketika perayaan malam itu. Lilik menghampiri kami dan duduk di kursi yang kosong. Pandangannya langsung tertuju padaku.
“Apa kedatanganku membuatmu tidak nyaman?” tanyanya.
“Tentu saja tidak, silakan,” jawabku.
Sumi tersenyum menyaksikan tingkahku yang barangkali terkesan gugup baginya.
“Sudah ke mana saja hari ini?” tanya Lilik.
“Aku mengajaknya ke sungai, seperti yang kau bilang, maklum ia jarang melihat air jernih,” Sumi menanggapi.
Lilik semringah mendengarnya. Bibirnya tipis, lengkung senyumnya panjang, hidungnya punya pola seperti stroberi, kurasa Lilik sedikit lebih cantik ketimbang Sumi. Ya, secara fisik hanya sedikit lebih cantik. Mungkin akan beda soal lagi kalau digali secara intelektual dan sifatnya.
“Kalau kau mau, nanti malam kuajak berkeliling lagi, bagaimana?” tawar Lilik. Aku melihat Sumi sebentar untuk menilai reaksinya: Sumi mengangguk.
“Baiklah, kutunggu kabarmu,” jawabku.
*
Selepas magrib, aku dijemput Lilik. Ia mengajakku berjalan entah ke mana. Jalan yang berbeda dari arah ke sungai. Tadinya aku bertanya ke Lilik: apakah ada semacam toko di daerah ini yang menjual sesuatu atau barang atau apalah yang sekiranya tidak bisa kudapatkan kalau sedang di Surabaya. Maka terjadilah sekarang, Lilik mengajakku entah ke mana. Menyeberang jalan raya, dan memasuki sebuah wilayah yang ramai seperti tempat pasar malam.
“Sepanjang hidupnya...” Lilik berbicara lagi setelah sebelumnya berusaha menjelaskan apa-apa yang kita lalui.
“Siapa?’ selaku.