n
Aku dan Lilik datang berkunjung ke tempat ibu dikubur. Tidak ada belukar tumbuh di gundukan tanah yang di bawahnya ibuku sedang beristirahat. Lilik pasti rajin datang kemari untuk membersihkannya. Wajahnya tampak berseri-seri melihatku ikut menyiram kubur. Lilik berbicara dengan nisan itu, seolah-olah ibu sedang duduk di sana: “Ibu, aku datang membawa Budi kemari. Kita perlu banyak-banyak berterima kasih pada Sumi.”
“Kenapa tak memberitahuku sejak awal tentang semua ini, Lik?” tanyaku.
“Mulanya aku merasa akan sia-sia belaka kalau kau mengetahuinya, karena sudah cukup terlambat. Tak ada yang berubah, kecuali bahwa kita dipertemukan,” jawabnya.
“Apakah Sumi sudah mengetahuinya sejak awal?” tanyaku.
“Hahaha...” memperhatikan wajah Lilik membuatku sekilas seperti bercermin, “tanya saja sendiri,” katanya setelah puas tertawa.
*
Orang-orang sedang berkumpul di rumah Sumi. Mereka sedang menyusun rencana terkait pernikahan Lilik dengan Iwan.
“Sekarang sudah jelas, siapa dari pihak keluarga yang akan menjadi saksinya,” kata Nenek Suri seraya memperhatikan keberadaanku.
Sumi duduk di sampingnya, tampak wajahnya seperti sedang mengejekku. Aku duduk di dekat pintu, bersisian dengan Lilik. Iwan tampak lebih ekspresif hari ini, tidak seperti hari pertama kami bertemu.
“Kapan pernikahanmu akan digelar?” bisikku ke Lilik. Ia menarik rambut yang menutupi telinganya ke belakang.
“Sebentar,” ia menggunakan jarinya untuk menghitung hari, “sebulan lebih seminggu dari sekarang,” jawabnya.
Selama ini Lilik tinggal sendiri di rumah. Ia menjaga toko baju milik orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di akhir pekan, ia ikut pergi ke ladang bersama Nenek Suri. Terbersit di pikiranku untuk membawanya ke Surabaya, bertemu ayah, mengajaknya tinggal di sana dan melanjutkan kehidupan keluarga kami. Tapi melihat bagaimana Lilik tampak lebih bahagia di sini membuatku mengurungkan niat.
Di tempat ini, orang-orang mengukur waktu melalui warna langit, rumah-rumah tidak dipagari besi menyerupai tombak, sebagaimana yang sering ditemui di kota.
“Apa kau bisa meminta ayahmu pulang, Budi?” tanya Nenek Suri, tidak lagi menganggapku orang asing.
“Aku akan coba menghubunginya,” jawabku.