o
Aku sudah berada di Lombok selama enam hari, dan mengetahui banyak sekali hal, namun rasanya masih saja belum cukup. Aku bagai terlempar ke dunia yang sedang disimulasikan, tempat hidup terlalu banyak kebetulan. Sebagian dari orang mungkin akan menyebutnya keajaiban, yang senantiasa hadir serta merta. Dan aku masih menginginkan lebih banyak lagi keajaiban itu. Lebih banyak lagi.
Suara unggas menembus kamarku. Merayap ke telingaku, menyentuh sel-sel yang menuntutku bangun. Aku membuka mata, seseorang bernapas di sampingku. Dan ia bukanlah seseorang yang asing. Belakangan ia telah menjadi sesuatu yang amat berharga bagiku. Senyum dan caranya memerhatikan bibirku, membuatku kembali seperti di dalam tidur, ketika sebuah mimpi terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
“Kenapa kau di sini?” tanyaku.
Sumi menjawab: “Aku sudah di sampingmu sejak semalam. Oh, harusnya sudah sejak dulu. Dulu sekali,” ia menunjuk langit-langit kamar seolah-olah ada grafik waktu yang tengah membentang mengikuti telunjuknya.
Sumi menaruh lengannya ke dadaku.
“Nanti nenekmu bisa marah melihat tingkahmu ini.”
“Dia sudah berangkat ke ladang sejak pukul tujuh pagi bersama adikmu, mereka akan kembali pada siang nanti, itu pun kalau mereka merasa perlu beristirahat di rumah. Dan kau harus ingat, ia tak akan marah.”
Aku mencium bibirnya. Lembut, seperti permukaan permen karet yang selalu siap dikunyah.
“Kita harus membeli tiket kembali ke Surabaya,” kataku, kini bibir kami berjarak hanya setipis kertas.
“Kau belum membaca berita?” tanya Sumi.
“Tentang?”
“Virus yang membawa penyakit mematikan telah menyebar di Surabaya, alhasil semua jalur transportasi harus ditutup untuk mencegah penularan virus itu, termasuk bandara, termasuk art date yang katanya menjadi tempat pertama virus disebarkan,” Sumi mengatakannya sambil tersenyum geli.