Sumi dan Fragmen Cerita Cinta yang Pendek

Robbyan Abel Ramdhon
Chapter #15

p

p

Malam begitu sepi. Sumi mengurung diri bersama neneknya di kamar. Membiarkanku memikirkan nasibku sendiri. Aku menghubungi para klien melalui pesan elektronik, mengabarkan pada mereka untuk membatalkan jadwal konsultasi satu bulan ke depan dengan alasan situasi sedang tidak baik karena adanya peredaran virus mematikan.

Di tengah kebingungan dan rasa malu yang masih menghantuiku, Iwan masuk ke kamar. Membawa arit dan mengambil sebuah gunting di meja baca Sumi, lalu memasukkannya ke saku bajunya. Dengan isyarat tangan, Iwan mengajakku mengikutinya. Kami meninggalkan rumah dan berjalan menuju tempat aku membeli brem bersama Lilik. Tidak jauh dari tempat itu, kami memasuki sebuah jalan panjang yang tampaknya hanya digunakan untuk jalur keluar-masuk satu mobil. Jalan itu mengarah ke sebuah pagar besi, dan di balik pagar besi itu berdiri sebuah rumah mewah, megah.

Kami bertemu dengan tiga orang di sudut rumah tersebut yang sepertinya adalah penjaga keamanan. Dua orang di antara mereka pernah kutemui, selalu mengekor di belakang Fadli.

“Fadli memberikan kami waktu sampai awal bulan, tapi akan kami selesaikan malam ini,” Iwan berkata kepada tiga orang yang tadinya sedang asyik memerhatikan papan catur. Iwan menyelipkan arit di pinggangnya.

Salah satu penjaga masuk ke dalam rumah yang berjarak tiga puluh meter lebih dari tempat kami berdiri.

“Awas kalau mau macam-macam,” kata seseorang lagi, dan meneruskan permainan papan catur mereka.

Penjaga yang sebelumnya masuk ke dalam rumah kembali dengan langkah santai. “Ayo, kalian dibolehkan masuk. Sebentar saja,” tapi sebelum kami melangkah, para pemain catur itu berceletuk: “Titipkan dulu aritnya, pak tani,” Iwan menaruh arit itu di tengah papan catur, mengacaukan formasi permainan yang sudah tersusun rapi.

“Muka dekil!” sentak kedua lelaki itu secara bersamaan.

Kami mengikuti lelaki kurus yang akan membawa kami menemui Fadli. Tubuhnya tidak cocok untuk seseorang yang bertugas mengamankan. Sebelum sampai di muka pintu, aku sempat melirik ke arah kolam yang permukaan airnya sudah berwarna hijau. Tampak tidak terawat lagi. Di tempat itu, aku bisa membayangkan bagaimana dulu ayah Sumi dan ayah Fadli bertemu, kemudian benar-benar tidak menjalin hubungan baik lagi.

Pintu kayu dengan ukiran bunga mawar dibuka. Aku dan Iwan masuk, sedangkan lelaki yang mengantar kami menunggu di luar. Fadli sedang duduk di sofa depan televisi berukuran 4 inch. Mengenakan sarung dan singlet, ia asyik meminum kopi. Tanpa dipersilakan duduk, kami sudah menempati dua kursi kosong yang tersedia.

“Bagaimana, Iwan?” Fadli mematikan televisinya, dan berbicara sambil menuangkan kopi dalam kocor untuk kami berdua. Dua gelas yang digunakannya untuk kami sepertinya adalah bekas tamu lain. Tampak dari sisa-sisa ampas kopi yang masih basah seperti lumpur.

Iwan mengeluarkan gunting dari saku bajunya, dan menancapkan mulut gunting yang runcing itu ke leher Fadli dan menutup mulutnya yang hendak berteriak. Tubuh jangkung itu mengejang seperti ayam yang baru saja disembelih. Fadli bangkit dan aku buru-buru mengikutinya. Lelaki kurus yang sebelumnya mengawal kami masuk sudah terlelap di teras depan, bau brem mengudara di sekitar mulutnya.

Dua pemain catur itu mengibaskan tangannya seakan mengusir kami cepat-cepat, mereka terlalua asyik dengan permainan mereka sampai tak sempat memerhatikan tangan kiri Iwan yang berlumuran darah. Aku tidak mengatakan apa-apa padanya. Yang mengganggu pikiranku sekarang adalah bagaimana nasib Lilik selanjutnya.

*

Kami sampai di halaman rumah, Lilik sudah menunggu di bawah pohon jambu. Ia menarik kedua lengan Iwan yang tadinya coba disembunyikannya. Melihat bekas darah dan bau amis di tangan Iwan, Lilik terkulai. Memukul-mukul tanah dan menangis. Tangisannya pecah, dan alam membisu bagaikan menghormati tangisan itu.

“Sudah berapa kali kau melakukan ini, Wan?” Lilik tersedu sedan.

Iwan tak bersuara juga.

“Kalau kau membunuh para begundal yang menggangguku tak masalah...”

“Tapi ini juga begundal, jauh lebih buruk lagi!” Iwan akhirnya bersuara.

“Aku paham. Aku sangat paham maksudmu. Tapi begundal yang satu ini adalah pejabat, kau akan dipenjara. Lalu bagaimana nasib kita?”

“Aku sering membunuh tapi tidak pernah dipenjara.”

“Kau berhasil lolos karena membunuh sesama rakyat, Wan. Kali ini kau membunuh pejabat, polisi tak mungkin diam kalau majikan mereka diganggu, apalagi dibunuh!” Tangis Lilik kembali lepas, “pergilah dan cari tempat bersembunyi, hidupmu sudah tidak aman lagi.”

“Bagaimana dengan perkawinan kita, Lik?” Iwan tampak lesu.

“Menikah denganku, berarti kau juga akan membawaku ke pusarat maut. Mau kau apakan nasibku, Wan?”

“Aku akan membawa Iwan ke Surabaya. Subuh nanti kami harus berangkat ke kota dulu, sembari mencari cara untuk menyeberang ke Jawa,” aku tidak membunuh Fadli, tapi aku membiarkan Iwan melakukannya. Kalau pun perlu dibui, hukumanku pasti tidak sebanyak Iwan. Aku bisa saja selamat kalau berakhir sebagai saksi dan mengatakan sebenarnya, bahwa aku tidak mengetahui apa-apa tentang niat membunuh itu.

“Bud...” Lilik menyambar tubuhku dengan pelukan yang keras. “Maafkan kakakmu yang tidak berguna ini,” Lilik menenggelamkan kepalanya di bahuku. Airmatanya segera merembes ke dadaku.

Iwan pulang bersamaku. Mengemasi pakaian dan barang-barang lainnya, kemudian kembali ke rumah Lilik. Ranjang tidurku sepi, tapi aku membayangkan tubuh Sumi sedang berbaring menunggu pelukanku. Aku mengingat kembali, bagaimana beberapa waktu sebelumnya, Iwan mengambil gunting yang disimpan Sumi bersama pensil dan pulpen dalam sebuah gelas kaca. Andai saja aku tahu Iwan akan pergi membunuh seseorang, mungkin aku akan berusaha mencegahnya, memberikannya pertimbangan lebih rasional. Meski aku juga tidak yakin, apakah Iwan akan menyetujuinya.

Di kolom meja itu, tasku sudah terisi penuh. Barang-barang yang kubawa ke Lombok dan yang akan kubawa pulang ke Surabaya telah dalam keadaan rapi. Barangkali Sumi memang hendak mengusirku. Entah untuk bisa menemuinya lagi atau tidak. Tapi situasi ini membuat hatiku terasa kacau. Pikiranku seakan tersumbat oleh masa depan yang keruh. Masa depan yang indah tidak lagi terpampang bagai panorama pagi. Hanya akan ada malam yang pekat, dengan kilasan-kilasan peristiwa pembunuhan.

*

Aku belum juga bisa tidur atau beristirahat dengan tenang sampai pukul tiga pagi. Keresahan melanda pikiranku, seakan dekat di kepalaku sedang berlangsung sebuah pasar malam yang tak berkesudahan. Tiga puluh menit lagi, aku akan keluar dan menemui Iwan, kami harus segera berangkat menuju kota, dan mencari tempat persembunyian bagaimana pun caranya.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Lemahnya cahaya lampu templok tidak membuat tubuh Sumi tampak menjadi bayangan yang samar. Ia berbaring di sampingku, memelukku. Kami tidak mengucapkan apa-apa. Pelukan yang tercipta menjadi bahasa yang melengkapi segala kekurangan dari tutur kata.

“Kita tentu tetap bisa bertemu, tapi aku tidak bisa berjanji itu akan terjadi dalam waktu dekat,” Sumi akhirnya berkata lirih.

“Boleh kau hubungkan aku dengan Rama, suami Lisa yang dulu mengambil jurusan hukum?” aku berusaha mencairkan suasana hati Sumi.

“Untuk apa, sayang? Kau bukan seorang kriminal. Kau sudah melakukan sesuatu yang benar,” Sumi menyentuh hidungku dengan telunjuknya, “bagaimana Iwan menghabisi si Fadli itu?” tanyanya ringan.

“Ia menancapkan gunting ke leher Fadli. Itu hal paling mengerikan yang pernah kusaksikan.”

“Aku bisa menancapkan bibirku ke lehermu, itu jauh lebih mengerikan,” Sumi berkelakar, seraya memeragakan maksud ucapannya.

“Terima kasih karena sudah bantu mengemasi barangku.”

Lihat selengkapnya