Q
suatu hari, di sebuah perpustakaan pribadi
"Kenapa harus Lombok? memangnya kau sudah melakukan riset? Apa benar di tempat itu gerakan PKI masif? Coba pikirkan lagi. Harusnya kau fokuskan di Surabaya saja, itu sudah cukup."
Pertanyaan Abel tidak dijawab Sumi.
“Alur dari naskah novelmu ini tidak jelas, Sum,” kata Abel lagi, sambil memukul-mukul gundukan kertas di hadapannya.
“Berarti kau perlu membacanya lagi,” Sumi berusaha membela karyanya sendiri.
“Ini seperti kumpulan cerita pendek, tapi kau memaksa-maksakannya menjadi novel. Aduh, kacau.”
Mereka sudah berdebat selama berhari-hari tentang novel yang tengah dikerjakan Sumi. Abel bukan penulis seperti Sumi, tapi ia adalah kritikus sastra yang sudah punya jam terbang tinggi. Pertemuannya dengan Sumi pun berawal dari sebuah acara seminar yang diselenggarakan penerbit besar dengan tujuan mencari para calon sastrawan muda.
“Chekhov pernah bilang, kritikus sastra adalah lalat yang cuma bisa berdengung di telinga kuda, ketika kuda sedang bekerja.”
“Apa benar Chekov pernah mengatakan begitu?” tanya Abel.
“Kukira pernah. Meski aku mendengar kutipan itu dari kawanku, menurutku kandungan kebenarannya tetap kuat,” jawab Sumi.
“Kenapa aku harus berperan sebagai seorang psikiater?” Abel membuka lagi lembaran-lembaran naskah itu.
“Bukan itu yang terpenting.”
“Lantas?”
“Dari novel ini, harusnya kau tahu betapa aku sangat mengenal sifatmu.”
“Sifatku terlalu bertolak belakang dari tokohmu yang bernama Budi itu. Kau mengada-ngada.”
“Bahkan sekarang kau tidak mengenal dirimu sendiri, Bel. Kau terlalu sibuk dengan bayangan idealmu tentang sastra.”
“Sudah sepuluh tahun aku jadi suamimu, dan sepuluh tahun sebelumnya kita berpacaran. Benar, kurasa itu rentang waktu itu yang sangat cukup untuk membuatmu merasa soktahu tentang diriku.”
Abel meletakkan kembali naskah itu ke meja dan tidak menyentuhnya lagi. Ia mengambil sebatang rokok dan memantiknya.
“Jangan merokok di dalam perpustakaan, bodoh!” sergah Sumi.