SUMI

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #1

Chapter #1 Penyambutan Untuk Alea

Alea berdiri sejenak disamping mobilnya, memandangi gedung sekolah yang cukup besar dan luas. Gedung sekolah yang bercat light blue dengan list bawah berwarna dark blue yang pada sebagian dinding tampak terlihat catnya mulai mengelupas di makan usia, sekilas suasana di sekolah ini tampak tenang dan asri. Udara pedesaan yang khas, semilir angin segar memenuhi paru-paru Alea. Pada halaman sekolah, mulai dari parkiran hingga mata hazel gadis itu tembus ke dalam, terlihat bersih dan bebas dari sampah.

Alea terus meluaskan pandangannya, bola matanya berputar-putar merekam situasi dan kondisi SMA Unggulan Nusa Persada di Buay Madang. Tiba-tiba kesegaran udara yang masuk ke paru-paru berubah menjadi pengap, bentrok antara aroma udara pagi yang segar dan udara panas yang tak tahu datangnya dari mana membuat Alea seperti berada disebuah ruangan yang tertutup, sumpek.

Ia melirik Oppa dan Santi yang terlihat biasa saja. Tak tahu apakah mereka merasakan seperti yang Alea rasakan.

Sekelebatan cahaya hitam datang dari dalam sekolah, melesat cepat menabrak tubuh Alea, membuat gadis berjilbab itu refleks mundur. Hampir saja ia terjatuh bila tubuhnya tak ditahan oleh dua sahabatnya.

“Astaghfirullah, kakak kenapa?” tanya Oppa dan Santi bersamaan, menahan tubuh anggun Alea agar tak jatuh.

“Nggak ada apa-apa,” sahutnya singkat.

Alea mengusap wajahnya dan melafazkan ta’awuj berkali-kali dan membaca beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang ia hafal. Ia tak boleh kalah, kedudukan manusia jauh lebih mulia dari bangsa jin.

Kalau mau kenalan jangan begitu dong caranya. Main tabrak aja. Ujarnya membatin, melayangkan hardikan mata pada dua sosok tinggi besar yang menghadang di gerbang. 

“Kakak baik-baik saja?” ulang Santi dan Oppa bersamaan.

“Saya baik-baik saja,” kata Alea, menatap sekilas pada dua bersaudara tersebut lalu kembali menghunus tatapan tajam pada dua mahkluk yang belum juga mau pergi.

“Ayo kita masuk San, Oppa.” Ia menoleh bergantian ke arah Santi dan Oppa, lalu berjalan pelan dengan penuh percaya diri bersama hati yang tak lepas dari tasbih.

Santi mengiring langkah Alea, sementara Oppa langsung berjalan lain arah menuju ke kelasnya di kelas X IPA 2 yang berada persis di depan tiga batang pohon beringin yang besar-besar.

Banyak murid-murid yang berlalu-lalang di koridor tak membuat Alea merasa terusik. Ia terus melangkah pelan merasakan aura panas, dingin dan pengap yang bergantian menyapa kepekaannya.

Alea berhenti sejenak ditengah koridor, matanya lurus melihat ke tengah lapangan yang cukup luas dan bersih, merasakan semilir angin dingin yang meniup ujung pasminanya, menyusup masuk meremangkan kuduk. Indera penciumannya menangkap aroma ubi bakar dan bau anyir darah serta berbagai aroma yang membuat lambungnya mual.

Mata ajnanya mulai aktif bekerja mengeksplorasi wilayah baru. Seketika pandangannya menubruk puluhan gundukan tanah semacam kuburan di tanah lapang, lalu di dekat pohon beringin yang berjajar tiga baris itu berdiri seorang gadis cantik berkulit albino tengah menatapnya dengan tatapan yang misterius.

Alea menahan napas. Ia memperhatikan dengan saksama sosok gadis remaja yang berdiri kaku memandanginya. Gadis remaja yang memiliki tinggi badan melebihi tinggi badannya, rambut gadis itu berwarna kuning keemasan, panjang sepunggung, matanya kelabu biru, matanya kosong dengan bola mata yang bergerak kaku, bibir tipis merah pucat, memakai gaun panjang berwarna putih serupa dengan gaun pengantin. Sekilas gadis itu tampak seperti noni Belanda, tetapi hidungnya gagal mancung. Cantik tetapi aneh. Itulah kesan yang ditangkap Alea.

Mata gadis itu berkaca-kaca, Alea membaca banyak luka, dendam dan amarah yang membara pada sepasang mata biru langit itu. Gadis itu mengerjapkan matanya, lalu dua bulir air jatuh di sudut pipinya yang pias.

Dia menangis. Kenapa dia menangis? Astaghfirullahal’azhiim, airmatanya berdarah! Alea membatin syok, menyaksikan buliran airmata gadis bule itu berwarna merah darah.

Alea membalikan tubuhnya, bila Santi tak mudnur selangkah hampir saja ia menabrak Santi yang berdiri persis dibelakangnya. Dengan gugup ia bertanya pada Santi: “Kantornya di mana, san?”

“Di sana kak, eh, Bu Alea.” Santi yang terbiasa memanggil kakak pada Alea jadi agak gugup saat harus merubah panggilan.

Tanpa banyak tanya lagi Alea memanjangkan langkah-langkah kakinya menuju ruang guru, sedikit terburu-buru ia masuk ke dalam ruang kantor. Santi agak terheran melihat kakak angkatnya yang bersikap aneh. Namun Santi belum berani untuk bertanya, apalagi ketika di dalam kantor ia melihat wanita anggun tersebut sibuk berkenalan dengan rekan-rekan guru.

“Selamat datang di sekolahan kami, Bu Alea. Perkenalkan saya, Pak Maison, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan,” sapa seorang guru pria yang wajahnya agak mirip dengan salah satu reporter Insert, Agasa.

“Terima kasih, Pak Maison dan rekan-rekan semua.” Balas Alea santun.

“Bu Alea keturunan Arab ya atau India?” celetuk salah satu guru pria.

Davi yang telah sampai lebih dahulu cekikikan mendengarnya. Ia sangat hafal sekali, kalau rekannya satu ini selalu disangka orang India dan Arab. Alea mendelik, Davi menutupi mulutnya dengan tangan, menyimpan tawa.

Lihat selengkapnya