SUMI

Nimas Rassa Shienta Azzahra
Chapter #2

Chapter #2 Sumira El-Laura

Alea mengikuti langkah Pak Herman berjalan menyusuri koridor menuju ke kelas XI IPS 1 yang berada paling ujung dekat sebuah kantin dan di samping ruang kelas tersebut ada sebuah sumur tua. Sambil berjalan, Pak Herman terus menceritakan kondisi sekolah SMA Unggulan Buay Madang kepada Alea, menjelaskan satu persatu fungsi ruangan yang ada pada bangunan gedung sekolahan ini. Alea cuma mengangguk-angguk, sesekali ia menanggapi dengan kalimat pendek. 

Mata ajna Alea tak henti memindai seluruh situasi yang ada di sekolahan ini, sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri, meningkatkan kewaspadaan. Ia merasa ada berpasang-pasang mata yang tengah mengawasi gerak-geriknya. Sesekali ia menoleh kebelakang mencari sosok remaja yang tadi mengamatinya.

Nggak ada, hilang. Perasaan tadi ia mengikuti dibelakang, kok nggak ada? Ke mana ya? Mungkin ia kembali ke kelasnya? Begitulah pikir Alea.

“Ini kelasnya, Bu Alea.” Tunjuk Pak Herman begitu mereka sampai di muka kelas XI.

Mereka berdiri di muka pintu kelas, tiba-tiba hembusan angin menerobos masuk mendahului. Alea mundur menoleh ke kanan dan ke kiri dibersamai dengan tatapan heran dari Pak Herman.

Astaghfirullahal’azhiim, Ya Allah apa itu? Desis batin Alea, hatinya berdesau cemas. Untuk kedua kalinya ia hampir saja oleng akibat tertabrak bayangan hitam.

Suasana kelas yang hiruk pikuk persis seperti di pasar. Ada yang lagi duduk-duduk di atas meja sambil menggepit rokok disela bibir mereka, ada yang asyik memukul-mukul meja sambil bernyanyi-nyanyi. Sementara siswi-siswi sibuk merumpi, ada juga yang pacaran. Lingkungan kelas pun tampak kotor dan bau. Kursi-kursi siswa berada dalam posisi yang tak beraturan.

Lagi. Untuk kesekilan kalinya Alea menahan napas, kelopak matanya membulat penuh. Bukan karena melihat tingkah murid-murid IPS saja, tetapi ia melihat ada beberapa makhluk lain yang menempel duduk dibahu-bahu siswa, aura hitam, panas dan pengap memberikan reaksi mual yang luar biasa, sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak muntah.

Ya Allah, bentrok energi. Ini kelas atau sarang jin sih? Wajar saja kalau muridnya susah di atur, soalnya mereka ada dalam kendali jin. Pikir Alea. Ia mengumpulkan kekuatan agar energinya tak terkuras.

“Beginilah situasi kelas ini, Bu Alea. Susah dikendalikan. Lihatlah kehadiran Kepala Sekolah pun tak mereka digubris,” Alea mengangguk paham.

Ia menarik napas panjang. Membaca doa Nabi Sulaiman dan beberapa ayat lainnya yang ia hafal. Lalu melangkah pelan dan tenang mengikuti Pak Herman masuk ke dalam kelas. Suara ketukan sepatunya membuat suasana mendadak hening. 

“Selamat pagi, anak-anak. Silahkan duduk di tempat kalian masing-masing.” Perintah Pak Herman. Namun semua masih terpaku diam menatap Alea tak berkedip.

Pak Herman menarik napas panjang dan membentak dengan suara keras, “kalian dengar tidak apa yang saya katakan? Rio matikan rokokmu!”

Anak yang dipanggil Rio itu bergeming ditempatnya, tangannya tetap memegang rokok yang masih menyala. Mata Pak Herman mulai merah, ia maju menuju ke arah Rio hendak menampar remaja cowok yang berpenampilan berantakan, namun disergah oleh Alea.

“Jangan kasar, Pak. Saya bisa mengatasinya.” Katanya pelan. Pak Heman menatap skeptis pada Alea.

Wanita berjilbab yang memang menguasai ilmu spikologi itu menggeleng, menarik napas panjang, mengulas senyum tipis, menatap satu persatu wajah murid-murid. Dengan membaca bismillah, lalu ia berkata tegas dan lugas: “Assalamualaikum, anak-anak. Sebelum saya memperkenalkan diri, bisa kalian kembali ke tempat duduk kalian masing-masing?”

“Wa'alaikumussalam, Ibu cantik. Bisa, Bu.” Serentak semua murid bergegas duduk rapi di tempatnya masing-masing.

Alea menatap Rio. Tampak gugup remaja itu segera mematikan rokoknya.

“Terima kasih, Rio, sudah bersedia mematikan rokoknya.” Ujar Alea memberikan respek untuk perbuatan baik Rio.

Giliran Pak Herman yang terdiam.

Kenapa begitu mudah sekali, Bu Alea, mengatur anak-anak ini? Pakai ilmu apa dia? Tanya Pak Herman dalam hati.

Alea mengangguk pada Pak Herman. Pria paruh baya itu pun membuka suara, “anak-anak perkenalkan, ini Ibu Alea dari Jakarta. Nama lengkapnya siapa, Bu?”

“Ibu Alea Nahrassyah Sulthanah,” sahut Alea. Wajahnya tersenyum ramah, hangat.

Lihat selengkapnya