Alea melebarkan langkah kakinya agar bisa keluar lebih cepat dari ruang kelas XI IPS 1. Mata Alea terbelalak saat melihat koridor kelas sudah dipenuhi oleh makhluk cebol dan berbagai makhluk hitam besar berbulu, hampir menyerupai kera hanya saja mereka memiliki tanduk. Entah apa ini namanya, jin, genderuwo atau apa, Alea tak paham.
Udara disekitar menjadi menipis, suhu udara desa yang sejuk berganti menjadi panas dan pengap. Alea heran bagaimana bisa murid-murid dan para guru bisa berjalan melenggang dengan santai dan tenang. Sementara ia harus mencari celah untuk bisa melangkah.
Ya Allah, ada apa dengan sekolah ini? Bagaimana caranya untuk bisa keluar dari kerumunan ini? keluhnya. Keringat dingin sudah mulai membasahi tubuhnya, tepian jilbab di wajahnya pun sudah tampak basah.
“Bu Alea.” Sapa Pak Maison yang baru keluar dari kelas X IPA 2. “Mau ke kantor?” pertanyaan yang tak perlu di tanyakan sebenarnya, semua juga tahu setiap guru yang keluar dari kelas dan melewati koridor ini pasti mau ke kantor. Ia mensejajari langkah guru baru tersebut.
Alea hanya mengangguk dan tersenyum. Keduanya berjalan beriringan tanpa banyak bicara karena konsentrasi Alea sedang terfokus pada makhluk-makhluk yang menghadang jalannya. Melihat Alea diam, Pak Maison menjadi segan untuk mengajaknya bercakap-cakap meski sebenarnya ia sangat ingin berbincang dengan perempuan berjilbab dan berparas seperti wanita Pakistan.
Sampai di kantor, Alea menarik napas panjang. Sesak dan pengap hilang seketika, udara segar kembali memasuki organ paru-parunya.
“Minum dulu, Bu Alea.” Santi meletakan secangkir teh hangat dan satu cup air mineral dihadapan Alea.
Tanpa menunda, Alea segera mengambil cup air mineral, meneguknya hingga tandas. Lega sekali rasanya, ia seperti baru terbebas dari kepungan musuh. Kembali dihelanya napas panjang sembari menggelengkan kepala kuat-kuat, membuang ingatan tentang Sumi dan pengakuan murid-murid kelas XI IPS 1 barusan. Ajnanya berdenyut kuat, biasan cahaya nila mulai bermain-main bagai lingkaran penghisap debu yang dapat menarik tubuhnya.
Oh, tidak. Jangan di sini. Keluh batinnya, ia kembali menegak minum, kali ini teh hangat yang ia sesap hingga tak bersisa.
“Ada apa, kak? Kakak sakit?” bisik Santi penasaran melihat paras cantik itu tampak pucat.
“Nothing.” Sahut Alea singkat.
Ia mengeluarkan gawai dari saku blazernya, mengalihkan fokus pada yang lain agar ia tak terseret masuk ke dalam gelombang portal yang terbuka lebar dihadapannya.
Dav. Ini sekolahan atau istana jin sih?
Tanyanya pada Davi di chat WAG.
Jangan terkecoh, Ndan. Itu bukan jin asli, tapi settingan.
Dinar yang membalas lebih dahulu..
Letak settingannya di mana? Dari pagi hingga detik ini semua yang saya alami dan saya lihat bukan settingan, Nar.
Balas Alea mulai skeptis. Ia sendiri masih mencari letak settingan hantu ini di mana. Sebab ia jelas-jelas melihat Sumi berjalan tanpa menjejakan kaki dan tubuhnya tak terlihat oleh yang lain.
Komandan bertemu dengan hantu Sumi ya di kelas XI IPS 1?
Itu asli, Ndan. Sekolah ini memang berhantu. Balas Davi.
Iya betul. Sekolah itu memang berhantu, tetapi nggak semua hantunya asli ada juga yang di rekayasa oleh Bang Codet alias Pak Rangga yang menyamar jadi penjaga sekolah. Balas Dinar.
Buktinya apa, Nar? Dari kemarin kita cari bukti ini tentang hantu settingan versimu itu, tapi kita saja selalu gagal dan kamu tidak bisa menunjukan di mana mereka merekayasa hantu-hantunya. Jangan ngomong settingan dengan Komandan Lea kalau belum punya bukti. Seloroh Gita.
Alea terdiam, ia membiarkan ketiga anak buahnya berdebat tentang hantu settingan. Pikirannya teganggu dengan sepenggal kata, “Bang Codet alias Pak Rangga yang menyamar menjadi penjaga sekolah.” Ia menggaris bawahi kalimat ini.
Bisa jadi yang dikatakan Dinar benar, memang benar ada hantu di sekolah ini tetapi tak semua asli, ada juga yang direkayasa. Alea teringat sewaktu ia berdiri di belakang kelas menyaksikan keributan anak-anak, ia sempat mendengar suara-suara instrument yang menyayat hati, suara musik instrument itu berasal dari atas palfon kelas. Kalau itu suara gaib, mestinya tak begitu.
Pak Rangga yang mana?
Tanya Alea penasaran. Lama ia menunggu jawaban dari pertanyaannya. Dinar yang kebetulan sedang makan di kantin dekat sekolahan, langsung membalas chat Alea dengan mengirimkan foto seorang pria yang tengah memegang mesin pemotong rumput di tengah lapangan sekolah.
Itu orangnya, Ndan. Sekarang ada di halaman sekolah. Balas Dinar.
Kamu yakin, Nar. Pak Rangga adalah Bang Codet yang kita cari, nggak ada codet sama sekali di wajahnya. Kamu kan pelatih pramuka yang cuma datang sekali-sekali ke sekolah. Aku hampir setiap hari ngobrol dengannya di sekolah. Pak Rangga itu orangnya baik banget. Mustahil rasanya bila dia seorang penjahat.
Kata Davi mengirimkan voice note.
Jangan terkecoh dengan kebaikan orang, Dav. Karena kulit yang mulus tak selalu menunjukan isi yang bagus. Buktinya saja, banyak buah mangga yang harum dan berkulit halus tetapi isi di dalamnya busuk dan berulat.
Dinar ikut membalas dengan voice note di iringi kekehan kecil yang satir. Alea mulai membenarkan perkataan Dinar. Ia membuang pandangannya ke luar kantor, mencari sosok pria yang tengah memotong rumput di halaman sekolah.
Dari kejauhan ia melihat sosok pria yang bertopi coboy, berdiri membelakangi mata Alea sehingga sulit baginya untuk menganalisa karakter Pak Rangga. Di punggung pria itu sebuah tabung berwarna orange menggantung seperti sebuah tas ransel, tangannya menggenggam sebuah pipa panjang dengan dua mata pisau yang berbutar membabat habis rerumputan yang berada di halaman tengah sekolah. Beberapa murid tampak sedang memperhatikan pekerjaan pria itu.
Baiklah. Davi, kamu selidiki Pak Rangga.
Dinar sekarang kamu di mana?
Gita, kamu persiapkan diri menyamar menjadi asisten rumah tangga Koko Liem, cari tahu siapa sebenarnya Koko Liem ini.
Alea mulai membagi tugas kepada ketiga anak buahnya.