SUMMA CUM BLOOD

IGN Indra
Chapter #1

PEMBUKA LABIRIN 01

Bau ruang kuliah ini pengap oleh campuran dari semir kayu tua dan logam yang berkarat dari kecemasan yang menggantung pada napas. Aku duduk di posisiku yang biasa di barisan belakang, mencatat dengan goresan-goresan kecil yang terkendali. Di sekelilingku, tujuh puluh tiga mahasiswa menempati posisi dalam pola yang dapat diprediksi. Jiwa-jiwa ambisius merapat ke depan; kupu-kupu sosial membentuk kepompong percakapan; dan mereka yang bimbang terdampar di tengah, di mana mereka bisa meleburkan diri tanpa nama. Aku sudah memetakan semuanya.

Universitas Cahaya Nusantara membanggakan arsitektur kolonialnya, meskipun kebanggaan itu hanya setebal cat. Di sini, di dalam Aula 3B, lampu neon berkedip setiap empat puluh tujuh detik—kerusakan minor yang tak pernah diperbaiki. Fasad universitas ini sempurna untuk brosur. Tapi di bagian dalamnya, di sudut-sudut yang tak bisa ditangkap kamera, kebenaran yang terlihat hanyalah pengabaian.

Aku mulai membuat catatan tentang dosen di depan. Dr. Widodo. Usianya lima puluhan. Cincin kawin di jarinya telah aus menjadi penanda akan pernikahannya yang sudah lama, atau kebiasaan gugupnya. Dasinya masih sama seperti yang dikenakan Selasa yang lalu. Detail yang menandakan pikirannya sedang sibuk dengan hal lain. 

"Psikologi kriminal," Dr. Widodo memulai, “adalah tentang memahami mekanisme yang membenarkan tindakan-tindakan luar biasa.”

Aku tidak mencatat kata-katanya. Aku mencatat reaksi ruangan. Pupil seorang gadis yang melebar. Ibu jari seorang anak laki-laki yang berhenti bergreak di atas layar ponsel. Dua mahasiswa yang bertukar pandang. Semua adalah data. Ketidaknyamanan adalah data. 

"Perhatikan kasus Pencekik di Bekasi," lanjutnya. "Tetangganya menggambarkannya sebagai orang yang sopan. Bagaimana kita mendamaikan kontradiksi ini?" 

Seorang mahasiswi di barisan depan—selalu dia—menjawab, "Kompartementalisasi?"

"Terlalu dangkal," balas Dr. Widodo. 

"Ada lagi?"

Hening.

Aku bisa merasakan tatapan sang dosen mulai menyapu ruangan, mencari target. Aku tahu giliranku akan tiba.

"Saka," panggilnya. "Kau diam sekali belakangan ini."

Aku menyelesaikan catatanku sebelum mengangkat kepala. 

"Kompartementalisasi disosiatif tidaklah cukup," kataku, suaraku datar dan terukur. 

"Polanya menunjukkan adanya beberapa diri yang utuh yang hidup berdampingan tanpa rekonsiliasi."

Seisi ruangan menjadi hening—jenis keheningan yang tegang. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Gadis di depanku bersandar menjauh. Laki-laki di sebelahku menggeser tasnya. Sejak saat itu, sesosok dinding imajiner berdiri di antara aku dan mereka. Aku telah menandai diriku sebagai sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin berbahaya.

"Itu... analisis yang canggih," kata Dr. Widodo, ada kekakuan di sekitar mulutnya. Aku telah membuatnya tidak nyaman.

Kuliah berlanjut menjadi dengung. Pikiranku terfokus pada hal lain. Kebohongan kecil dari mahasiswa tim debat. Getaran dari ponselku, yang kuabaikan.  Getaran kedua, lebih lama.  

Notifikasi.

Dengan enggan aku melihatnya.

UPACARA PERINGATAN — MENGINGAT MEREKA YANG TELAH TIADA. MINGGU INI MENANDAI TIGA TAHUN SEJAK WAFATNYA ARJUNA MAHENDRA...

Tanganku mulai gemetar. Sebagai respon trauma, begitu bunyi diagnosis di kepalaku. Aku memaksa jari-jariku diam dengan mengencangkan genggamanku. Aku menghitung mundur dalam tiga bahasa. Teknik penenangan.

Aku meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah. Getaran itu mereda, meninggalkan kekosongan di dadaku. Tiga tahun.  Seolah waktu bisa menyembuhkan segalanya.

Aku kembali menulis, tapi huruf-hurufku menjadi lebih rapat. Reaksi ini bisa ditebak, tulisku pada diriku sendiri. Ketertebakan berarti kendali. Tapi mataku terus kembali ke ponsel yang gelap itu. Nama kakakku, Arjuna, seolah membakar retinaku.

Aku membuka halaman baru. Memaksa diriku untuk fokus pada detail-detail remeh di ruangan. Apa pun untuk menambatkan diriku pada logika.

Apa pun untuk tidak memikirkan pintu-pintu yang terkunci, dan sebuah kasus yang ditutup bahkan sebelum sempat dibuka.

***

Lantai empat perpustakaan adalah zona hening. Aku memilih meja di sudut terjauh, terlindung oleh rak-rak jurnal kriminologi.  Posisi defensif yang telah kuasah selama bertahun-tahun.

Di seberang sana, tiga orang mahasiswa kedokteran belajar dalam kelelahan khas mereka. Tak satu pun dari mereka melihat ke arahku.

Aku menata peralatanku di atas meja. Setiap benda memiliki posisinya sendiri. Pena, buku, termos kopi. Keteraturan di luar bagian dari usahaku untuk menciptakan keteraturan di dalam. Setidaknya, begitulah teorinya.

Ponselku terbaring di sudut, notifikasi peringatan itu masih belum kubaca. Aku menganggapnya beban kecil yang terasa sangat berat.

Aku membuka berkas Pembunuhan Serpong, tahun 2018. Empat korban. Tak ada pelaku. Berkas itu menghilangkan fakta penting. Keempat korban merasa diawasi sebelum mati. Keempatnya melaporkan adanya waktu yang hilang. Polisi mengabaikannya. Kasus berakhir ditutup.

Aku membuat catatan tentang kegagalan investigasi itu, tentang bagaimana bukti yang merepotkan sering kali dianggap tidak relevan. Pikiranku terus melayang kembali pada notifikasi itu. Nama kakakku, direduksi menjadi pengumuman di surel massal.

Aku menutup berkas itu. Dari tasku, kukeluarkan buku catatan yang lain. Yang ini tak bernomor. Sampul kulitnya usang. Halaman di dalamnya dipenuhi tulisan tangan yang terasa asing. Lebih agresif. Seolah ditulis oleh orang lain. Entri-entri yang kutulis, tapi tak selalu kuingat pernah kutulis.

Aku menemukan halaman kosong. 

Upacara peringatan itu hanya sandiwara. 

Lihat selengkapnya