SUMMA CUM BLOOD

IGN Indra
Chapter #2

PEMBUKA LABIRIN 02

Pukul 22:47. Lantai empat perpustakaan menyambutku dengan dengungan listrik dan aroma perekat buku yang familier. Aku mendorong pintu kaca, buku catatan delapan belas menekan rusukku. Lampu neon di atas masih berkedip dalam pola yang sudah terjadwal. Namun malam ini, ada sesuatu yang merusak keteraturan itu.

Meja keamanan kosong.

Seharusnya Pak Suryadi ada di sana, membaca tabloidnya. Aku sudah mendokumentasikan polanya selama tiga semester. Pukul 22:00 tiba, rehat rokok pertama pukul 23:15, patroli keliling pukul 00:30 dan 03:00. 

Selalu begitu. 

Ketiadaannya terasa seperti undangan.

Kukeluarkan buku catatanku. 

22:48 – Pos keamanan ditinggalkan. Tak ada tanda perlawanan. Kursi terdorong mundur 15 sentimeter. Segelas kopi tubruk yang mendingin menyiratkan ia telah pergi sekitar 20-30 menit yang lalu.

Aku bergerak lebih dalam di antara rak-rak kayu yang menjulang. Wilayahku yang biasanya, Psikologi Kriminal baris 42 hingga 48, malam ini beraroma aneh. Di bawah bau kertas tua, tercium aroma metalik yang tajam. Bau besi. Bau koin yang terlalu lama di dalam genggaman tangan yang berkeringat.

Gema langkahku terdengar salah. Aku berhenti di baris 44. Seseorang telah mengusik debu. Seseorang yang bukanlah petugas kebersihan. Mereka baru datang pukul 05:00. Ini adalah jejak kaki. Serangkaian jejak kaki yang memiliki keteraturan, seperti milik seseorang yang berjalan sambil membawa beban.

Aku berjongkok. Sepatunya berukuran 42 atau 43, usang di bagian tumit luar. Langkahnya lambat, terukur. Tidak ada kepanikan. Meski tampak penuh tujuan.

Kuikuti jejak itu sambil terus mencatat. 

Interval jejak kaki menyiratkan tinggi 170-175cm. Variasi kedalaman menunjukkan distribusi berat yang asimetris. Membawa sesuatu di sisi kanan? Jejak mengarah ke Sastra Indonesia, baris 67.

Aroma metalik itu semakin lama semakin pekat. Pikiran sadarku menolak untuk memberinya nama, tapi tubuhku sudah tahu.

Baris 67. 

Jejak kaki berakhir di sini. Aroma itu kini telah menjadi kehadiran yang menyesakkan. Aku kemudian berbelok di sudut rak.

Dr. Arifin terbaring telentang. Lengannya direntangkan seperti salib yang kasar. Di jari-jarinya yang kaku, ia mencengkeram sebuah naskah. Aku mengenali judulnya: Identitas Pascakolonial di Jakarta Modern. Karya yang ia curi dari seorang mahasiswi yang kemudian bunuh diri dua tahun lalu. Halaman-halamannya kini basah oleh warna merah.

Celananya basah oleh darah. Begitu banyak darah, menggenang dalam setengah lingkaran yang sempurna di atas lantai marmer.

Tanganku sedikit gemetar saat menuliskannya, tapi aku  tidak ingin berhenti. Tidak bisa berhenti. Jika aku berhenti mengamati, aku harus merasakan, dan merasakan tak lain adalah wujud kelemahan. 

Subjek: Dr. Arifin (Skandal plagiarisme, 2021-2023). Posisi: Telentang, lengan 90 derajat dari tubuh. Pakaian: Kemeja putih, celana gelap. 

Naskah: 97 halaman, digenggam dalam kaku mayat. Genangan darah: Sekitar 3 liter, setengah membeku. Kematian terjadi 2-4 jam yang lalu.

Matanya tetap terbuka, menatap lurus ke arah lampu neon. Ekspresinya sulit kubaca. 

Lihat selengkapnya