SUMMA CUM BLOOD

IGN Indra
Chapter #3

PEMBUKA LABIRIN 03

Pukul 07:43. Cahaya pagi tidak mengubah apa pun. Kampus masih terasa kotor oleh kekerasan semalam. Di gerbang utama, dua penjaga keamanan mendirikan pos pemeriksaan. Seragam mereka rapi, tetapi mata mereka tampak lelah. Tingkat kedipan mereka dua kali lipat dari batas normal. Mereka telah berjaga sepanjang malam.

"Kartu Mahasiswa," kata penjaga yang lebih muda. Namanya Yanto. Kidal, baru saja bertunangan. Aku sudah mencatatnya. Hari ini, suaranya tegang. Ia sedang memainkan satu peran.

Kuserahkan kartuku. Ia memindainya dengan alat baru. Penjaga yang lebih tua menggeledah tasku, mengusik tatanan buku-buku catatanku. Aku tidak protes. Aku hanya mengamati. Buku catatanku bisa jadi masalah.

"Apa ini?" Ia mengangkat buku catatan delapan belas, yang berisi sketsa dan analisis dari semalam.

"Catatan psikologi. Pola perilaku kriminal untuk tesis." Jawaban yang tidak sepenuhnya bohong.

Ia membolak-balik halamannya tanpa benar-benar terlihat membacanya—pertunjukan ketelitian. Perhatiannya terpecah. Ia melambaikanku untuk lewat.

Bangunan-bangunan kolonial yang megah kini terasa seperti monumen kegagalan. Lampu-lampu sorot darurat dipasang sembarangan, generatornya berdengung pada frekuensi yang menciptakan rasa gelisah.

Aku memilih bangku dengan garis pandang optimal. Pemandangan ke alun-alun, akses ke pintu perpustakaan. Aku memposisikan diriku di dekat pagar tanaman hias untuk memecah siluetku. Menjadi tak terlihat adalah pilihan yang disengaja.

Buku catatan delapan belas terbuka. 

08:02 – Pola patroli terbentuk. 

Sirkuit satu: 6 menit. 

Sirkuit dua: 4 menit. 

Titik buta 45 detik di sudut barat laut setiap 12 menit.

Para mahasiswa bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, langkah mereka kaku. Aku mengkategorikan respons mereka. Mahasiswa kedokteran yang lebih sering menoleh. Mahasiswa sastra yang berbisik. Mahasiswa bisnis yang tawanya terdengar palsu.

Sekelompok mahasiswa baru melintas, menyebarkan desas-desus. 

"Kudengar pelakunya mahasiswa—" 

"Bukan, pasti dosen—" 

"Ada pesan yang ditulis dengan—" 

"Ssst."

Mereka melirik ke sekeliling, lalu padaku. Rasa takut membuat mereka waspada, tapi tanpa kejelian. Mereka melihat ancaman di mana-mana dan pola tak di mana pun.

Tiga dosen keluar dari gedung Ilmu Sosial. Tas kerja Profesor Hartanto di tangan kirinya hari ini, bukan di kanan seperti hari lainnya. Dr. Kusuma mendekap kertasnya seperti perisai. Profesor Liu mengenakan gaun yang sama seperti kemarin. Noda kopi di ujung gaunnya membuktikan ia tidak pulang semalam.

Pintu gedung rektorat terbuka. Dekan Hartono muncul, diapit dua petugas media. Mereka mencegat seorang wartawan. Aku tidak bisa mendengar kata-katanya, tapi bahasa tubuh mereka sudah cukup menyiratkan penyangkalan, pengalihan, agresi.

Pukul 08:17, surel resmi datang. Empat puluh satu kata yang tidak mengatakan apa-apa.

Segenap sivitas akademika universitas turut berduka cita atas insiden internal yang terjadi tadi malam. Perkara ini sedang dalam penyelidikan oleh pihak yang berwenang. Demi keamanan dan privasi komunitas kita, akses kampus dibatasi untuk sementara waktu. Layanan konseling tersedia bagi yang terdampak.

Insiden internal. Bukan pembunuhan. Sedang dalam penyelidikan. Kalimat pasif. Bahasa yang dirancang untuk melindungi institusi.

"Hei, kau di perpustakaan tadi malam, kan?"

Anisa, editor koran mahasiswa. Ia berdiri tiga kaki jauhnya, berpura-pura memeriksa ponsel sambil berbicara. Hmmm… taktik interogasi yang lumayan.

"Banyak orang di perpustakaan," jawabku, tanpa mendongak.

"Tapi kau di sana saat itu terjadi. Kau pasti tahu sesuatu."

Aku berhenti menulis. 

"Mereka sedang menekan arus informasi," kataku dengan nada datar. "Perhatikan, keamanan tidak sedang mencari seseorang. Mereka mengendalikan siapa yang masuk dan keluar. Ini bukan perburuan. Ini pengendalian kerusakan."

Ia mundur selangkah. 

"Itu... analisis yang tajam."

"Ini pengamatan. Polanya jelas jika kau tahu cara melihatnya." 

Lihat selengkapnya