Aula kuliah di Sayap Timur tak pernah direnovasi sejak zaman Belanda. Hantu-hantu mereka mungkin masih tertinggal menyatu dengan panel kayu mahoni yang lebih banyak menelan cahaya ketimbang memantulkannya. Aku duduk di posisi lazimku. Barisan belakang, kursi ketiga dari kiri. Titik observasi yang cukup optimal. Lampu neon berkedip dalam pola yang telah kuukur. Kerusakannya telah kuabaikan selama tiga semester.
Udaranya berbau debu kapur dan pengap. Jendela di ruangan ini disegel sejak tahun 1962, setelah seorang mahasiswa bernama Kusuma melompat dari lantai tiga. Catatannya kusimpan di dalam arsip, di bawah judul ‘Perbaikan Struktural’, bukan ‘Insiden’. Aku menyamarkannya sebagai kebohongan administratif yang rapi.
Profesor Wijaya masuk pukul 14:03. Tiga menit terlambat, seperti biasa. Tas kulitnya sudah berusia sebelas tahun. Gaya jalannya sedikit pincang hari ini. Aku mencatatnya.
Wijaya menunjukkan respons nyeri (skala 4-5). Dasi Selasa dipakai di hari Kamis—gangguan rutinitas. Lingkaran hitam di bawah mata, concealer tak memadai.
Ada getaran di tangannya saat ia menyambungkan laptop. Aku yakin itu bukanlah karena usia. Mungkin oleh sesuatu yang lain. Kecemasan?
"Selamat siang," katanya, nadanya sedikit lebih tinggi dari biasanya. "Hari ini kita membahas tugas akhir Psikologi Kriminal."
Energi di dalam ruangan berubah. Ponsel-ponsel lenyap. Aku mengamati respons mereka. Gadis di depanku meretakkan buku jarinya. Laki-laki di kananku mulai menggetarkan kakinya.
"Semester ini, kita melakukan sesuatu yang berbeda," kata Wijaya. "Kalian akan menganalisis kasus kriminal nyata."
Bisik-bisik.
Gairah dari mereka yang naif.
Kekhawatiran dari mereka yang realistis.
Aku tetap diam, tapi sesuatu yang dingin bergerak di dadaku.
"Kalian boleh memilih kasus-kasus bersejarah..." Ia mengklik slide-slide berisi foto-foto lama. "Namun..." Kata itu menggantung. "Mengingat peristiwa baru-baru ini, saya juga membuka opsi untuk menganalisis... insiden yang terjadi di kampus, minggu lalu."
Hening.
Hening yang memiliki bobot.
Beberapa mahasiswa menoleh ke arah kursi kosong milik asisten Dr. Arifin. Ia belum kembali sejak pembunuhan itu.
Tubuhku merespons. Rahangku mengencang. Denyut nadiku melonjak. Tanganku terus menulis, menekan pena hingga menggores kertas.
"Saya mengerti ini sensitif," lanjut Wijaya. "Minat kita murni akademis."
Seorang gadis mengangkat tangan. "Profesor, bukankah ini terlalu dini?"
Penyelidikan urusan penegak hukum," sela Wijaya, tajam.
Penaku melingkari kata ‘pembunuhan kampus’. Terus-menerus, hingga kertas itu robek, meninggalkan lubang menganga. Aku memaksa tanganku berhenti. Di sekelilingku, mahasiswa memperdebatkan etika.
Ketika seseorang bertanya apakah kami bisa mewawancarai saksi, wajah Wijaya memucat.
"Sama sekali tidak," katanya, begitu cepat. "Kalian bekerja hanya dari catatan publik."
Tapi aku sudah punya catatanku sendiri. Detail TKP yang kudokumentasikan sebelum siapa pun tiba. Pola-pola yang telah kupetakan. Aku tak menganggapnya tugas. Melainkan izin.
Denyut nadiku melambat. Aku akan membuat profil si pembunuh. Lebih penting lagi, aku akan mendokumentasikan respons institusional. Mekanisme penutup-nutupan. Mesin yang sama yang mengolah kematian kakakku tiga tahun lalu.
"Kalian punya satu minggu," kata Wijaya. "Pilihlah dengan bijak. Kasus-kasus ini akan tetap bersama kalian."
Ia benar. Beberapa kasus tidak pernah berakhir. Mereka hanya diarsipkan, sementara pertanyaannya membusuk dalam gelap.
Lampu berkedip lagi. Lima puluh tiga detik. Tepat waktu. Dalam kegelapan yang singkat itu, aku melihat tubuh Dr. Arifin. Kekerasan bisa menjadi kekacauan sekaligus komunikasi.
Ketika lampu kembali, keputusanku sudah bulat. Aku akan menganalisis pembunuhan ini. Dan mungkin, tersembunyi di dalamnya, akan kutemukan benang merah yang menghubungkan kematian Dr. Arifin dengan kematian kakakku. Seperti yang ditulis si pembunuh, kebenaran itu tunggal. Sisanya adalah dusta.
***
Pukul 14:52. Mahasiswa mulai keluar. Pada 14:58, hanya aku dan Wijaya yang tersisa. Aku berpura-pura akan pergi. Ia mengangguk lega, lalu keluar.
Aku menunggu tujuh belas detik, lalu duduk kembali.
Ruangan ini terasa lebih jujur dalam kekosongannya. Aku bisa mendengar bisikan gedung.
Kukeluarkan buku catatan delapan belas. Di dalamnya, ada kliping koran, foto-foto, transkrip percakapan. Aku membalik ke bagian tiga hari yang lalu. Malam pembunuhan. Tulisan tanganku ditekan lebih dalam di sini. Sketsa TKP-nya membentang dua halaman.
Kukumpulkan tujuh artikel, masing-masing dengan versi kebenarannya sendiri. Insiden. Begitu sebutan koran kampus. Kebohongan yang diperintahkan. Blog independen kecil mengajukan pertanyaan yang lebih benar.