Pukul 16:23. Koridor Departemen Psikologi, Lantai empat, Sayap Timur. Setiap langkah menggema, seperti hitungan mundur. Tiga lantai di atas kantor Wijaya, di sinilah para dosen senior mempertahankan teritori mereka di balik pintu-pintu kayu berat.
Kantor Dr. Salwa ada di sudut koridor, nomor 437. Posisi terbaik. Aku telah melewatinya tujuh belas kali semester ini. Meskipun tak pernah diundang.
Aku berhenti. Mempelajari papan namanya: Dr. Salwa Kusumawati, Ph.D. - Psikologi Klinis, Spesialisasi: Analisis Perilaku Forensik. Kuningannya kelihatan baru saja dipoles. Kredensialnya terpajang dari Jakarta, Amsterdam, hingga Jerman.
Pintunya sedikit terbuka, persis lima sentimeter.
Kesengajaan?
Dari dalam, tercium aroma buku tua, kulit, dan sesuatu yang floral tapi samar. Mungkin sabun. Mungkin juga bukan.
Aku mengetuk dua kali.
"Masuk."
Suaranya datar. Murni hanya sebagai fungsi.
Kudorong pintu itu. Dr. Salwa duduk di balik meja mahoni raksasa, posturnya sempurna. Ia tidak langsung mendongak, jemarinya sibuk menata tiga tumpukan kertas dengan perhitungan seorang ahli bedah.
Kantornya adalah benteng keilmuan. Rak-rak buku dari lantai menjulang ke langit-langit, disusun bukan berdasarkan abjad, melainkan sistem lain yang tak bisa langsung kupecahkan. Di sudutnya, ada jurnal-jurnal tua bersampul kulit, beberapa punggungnya diperbaiki dengan selotip. Tampak sering digunakan.
"Mahendra." Ia akhirnya menatapku. Tatapannya menembus, seolah sedang membaca cetak biru jiwaku.
"Enam belas dua puluh tujuh. Anda terlambat tiga menit."
Aku tidak tahu kami punya janji. Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya mengkatalognya sebagai mata gelap, frekuensi kedipan di bawah rata-rata. Usianya sulit ditebak, antara tiga puluh lima dan empat puluh lima. Terawat dengan baik.
"Duduk." Ia menunjuk sebuah kursi. Gesturnya minim.
Aku duduk, menirukan posturnya. Kursi itu diposisikan lebih rendah. Permainan kekuasaan yang klasik. Di mejanya, ada foto. Gambarnya hanya pantai kosong saat senja. Gambar yang menyembunyikan segalanya sambil berpura-pura dalam.
"Minat Anda pada psikologi kriminal," katanya, matanya kembali ke arah kertas. "Kapan dimulainya?"
Pertanyaan yang terdengar santai, tapi ini adalah irisan.
"Tahun kedua. Kelas Profesor Chen..."
"Bukan." Ia meletakkan kertasnya—artikel tentang gangguan disosiatif, aku bisa membacanya terbalik—dan menatapku lagi.
"Itu saat Anda bertemu istilahnya. Saya bertanya kapan minat Anda dimulai."
Denyut nadiku naik. Ia membongkar naskah yang telah kusiapkan.
"Minat menyiratkan pilihan," kataku. "Beberapa dari kami tidak memilih. Kamilah yang dipilih."
Bibirnya bergerak sangat tipis. Nyaris sebuah senyuman.
"Trauma sebagai kurikulum. Ya, aku akrab dengan konsep itu."
Ia kembali pada kertas-kertasnya, tetapi pola napasnya bergeser sejenak. Jemarinya menyentuh jurnal tua berselotip ambar itu. Ia sadar aku memperhatikan dan menarik tangannya.