***
Napasnya tersengal-sengal setelah menapaki setiap anak tangga di gedung psikologi yang terdiri dari delapan lantai. Untuk mencapai tempat yang di tujunya, ia lebih memilih untuk menggunakan tangga daripada harus naik lift. Alasannya sederhana, hanya atas dasar perjuangan. Tidak lebih.
Kira-kira di lantai ke enam, langkahnya terhenti sejenak. Sebelah tangannya menyapu peluh di dahi dan menepuk-nepuk dadanya untuk menetralkan napasnya yang tersengal. Waktunya tak banyak, ia kemudian kembali bergerak menuju tempat tujuannya terakhirnya sebelum semuanya terlambat.
Atap gedung psikologi.
Ponsel dalam saku jaketnya tak hentinya bergetar. Tapi ia tidak peduli, fokus dan tujuannya hanya satu sekarang. Temannya pasti keheranan karena ia menghilang setelah memesankan es kopi dan meninggalkannya di kantin seorang diri. Sebenarnya mereka tidak pernah terpisahkan, si empat sejoli. Akan tetapi dua orang lainnya menghilang dan ia mendengar sesuatu yang tidak boleh terjadi.