Summer Dream

Metha
Chapter #1

BAB SATU

Saat aku menyanyi, ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Sesuatu itu membuatku menjadi lebih berani, bergairah, dan percaya diri. Saking percaya dirinya, aku merasa seperti sedang di puncak dunia. Untuk sesaat aku lupa pada hal-hal yang mengganjal pikiran dan tak sanggup dienyahkan.

Don’t come any closer. You’re nothing but a shadow….

Maka dari itu aku terus menyanyi, mengabaikan perih di tenggorokan ataupun rasa letih dari kegiatan hari itu. Tanganku bergerak tak kenal lelah memetik gitar, seperti sejenis tangan robot yang telah diprogram demikian. Untuk kali ini saja, aku ingin bersenang-senang. Untuk kali ini saja, aku ingin merasakan kebahagiaan yang telah terenggut dari hidupku sejak setahun lalu.

Your locks golden as the sun, yet your heart’s cold as the dead’s….

Aku seorang musisi dan tugasku adalah membahagiakan orang-orang lewat musik. Maka dari itu, aku tidak bisa membiarkan keadaan—seburuk apa pun itu—meredam musikku.

Let me go on living. Let me open my eyes. Let me live….

Dan selesai. Aku megap-megap mirip ikan di dalam akuarium di sudut restoran, seakan bernapas adalah hal yang sulit sekali. Para tamu bertepuk tangan dan tersenyum puas. Aku suka melihat senyum sejenis itu di wajah para tamu dan gerak cepat tangan mereka membentuk tepuk-tepuk.

Thank you! I love you!” Lysander, teman se-band-ku berteriak sambil mengangkat kedua tangannya. Bass bergelantungan di depan tubuhnya. Dia kelihatan jauh lebih payah dari aku. Kasihan. Anggota band lainnya, Oberon dan Titania, tertawa meledek ke arah cowok bertubuh jangkung itu.

Giliran tampil band kami selesai. Kami meninggalkan panggung dengan kepuasan yang tak tanggung-tanggung, berpapasan dengan anggota band lain yang akan menggantikan kami. Aku menenteng gitar dan melangkah dengan gembira. Alasannya ada dua: (1) Kerja sambilanku sudah selesai dan (2) Hari ini aku gajian. Apa lagi, sih, yang bisa bikin orang bahagia selain hari gajian?

“Penampilan kalian bagus banget!” Bos berseru girang setelah memanggil kami ke ruangannya.

Lysander tertawa renyah. “Jelas dong, Bos. Mana ada yang jauh lebih bagus dari kami.”

Aku menyikut rusuknya. “Sori, Bos. Lysander emang agak sedeng.”

“Woi, Puck, gue kan cuma bercanda. Elo ini nggak bisa bercanda apa?” balas Lysander ketus. Aku mengangkat bahu saja. Tenggorokanku masih agak sakit setelah menyanyi tadi.

“Oh, hari ini gajian, ya?” ucap Bos, pura-pura lupa. Tetapi kulihat dia telah merogoh laci mejanya dan mengeluarkan empat amplop putih. Bos menyerahkan masing-masing amplop kepada kami. Kegembiraan tak terbendung lagi begitu jemari menyentuh amplop bagianku. Aku sampai terkagum-kagum pada sensasi halus amplop itu saking gembiranya. Entah kenapa, Bos tidak pernah memberikan gaji dengan cara transfer. Yah, paling tidak, uang yang dia berikan tidak lebih dan tidak kurang.

Hari itu ditutup dengan lambaian singkat teman-teman di parkiran restoran tempat kami manggung—Lysander yang pergi naik motor gedenya, Oberon dan Titania pulang berboncengan dengan motor matic yang telah dimodifikasi di sana-sini. Aku yang terakhir. Jadi yang terakhir memang mengesalkan, karena kau akan ditinggal sendirian tanpa tahu harus melakukan apa selain pulang. Namun ada juga keuntungannya: kau bisa melihat punggung teman-temanmu menghilang di antara keramaian dan kegelapan malam sambil mengenang kembali waktu yang telah kalian lewati bersama. Kemudian aku beranjak. Aku tidak boleh berlama-lama nongkrong di luar bahkan kalau itu adalah tempat kerja. Papa sedang menunggu.

***

Lihat selengkapnya