Pikiranku kalut-marut setelah kejadian malam lalu. Butuh perjuangan ekstra agar Papa mau tidur di kamarnya. Dia masih berpikir kalau rumahnya ada di suatu tempat. Aku membohonginya dengan cerita tentang hantu, pencuri, anjing galak, dan lain-lain agar dia mau menginap. Ketika akhirnya dia setuju dan terlelap di kamarnya, aku terduduk lemah di depan pintu kamar. Kepalaku rasanya kosong dan keletihan berhasil menenggelamkan seluruh tubuh sampai rasanya aku tidak punya sisa kekuatan lagi.
Akhirnya aku tidur di sofa ruang tamu dan bangun dalam keadaan pegal di sekujur tubuh. Sempat aku berpikir kalau semua ini cuma sekadar halusinasi semata yang diakibatkan oleh kecapekan. Namun, ketika mataku telah terbuka seutuhnya dan kesadaranku kembali berpijak di bumi pagi ini, aku tahu semua ini nyata.
Lagi-lagi, aku panik saat mendapati kamar Papa sudah kosong. Untungnya, aku menemukannya di halaman belakang rumah, menyemproti kembang-kembang kertas lesu.
“Papa….”
Dia menolehku. “Pagi!”
Itu bukan caranya menyapa setiap pagi. Papa tidak pernah mengucapkan salam sejenis itu. Biasanya, Papa menyambutku dengan nasi goreng sudah tersaji di meja dan kopi mengepulkan aroma pahit khasnya. Dia suka kopi dan nasi goreng. Sama sepertiku.
“Tadi saya lihat bunganya layu, jadi saya siram,” dia menambahkan.
“Oh.” Ada ide gila terbersit di otakku. Dengan takut-takut, aku menghampirinya dan bertanya, “Umm … masih ingat namaku?”
Papa menyemproti bunga kertas berkali-kali sampai air menetes-netes dan menggenang di pot. “Krishna,” katanya.
Sekujur tubuhku terasa begitu hangat dan lega.
“Benar,” aku menegaskan. “Lalu … siapa aku?”
Papa masih menyemprot bunga yang sama dengan ritme yang sama. “Yang punya rumah ini, kan?”
Kehangatan dan kelegaan menguap lenyap dari tubuhku.
“Ya ampun. Saya harus pulang sekarang.” Papa mengarahkan semprotan padaku. Posisi jarinya di semprotan mengkhawatirkan. Bisa jadi dia akan menyemprotku atau apa. “Nanti istri dan anak saya cemas.”
Mendengar dua kata itu—istri dan anak—jantungku kontan berdenyut begitu kencang.
“Istri dan anak?” ulangku, kedengaran mirip anak kecil yang takut bersuara. “Istri dan … anak?”
“Ya. Istri … anak…. Anak saya masih SD. Kelas satu. Mau lihat fotonya?” Dia mengempit semprotan, lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. Aku bahkan tidak menyangka dia bakal membawa dompetnya ke mana-mana, seolah benda itu mampu menyelamatkannya dari segala jenis malapetaka. Papa membuka dompetnya dan menunjukkan foto tua yang terselip di sana. “Ini dia. Ini anak saya. Ganteng, kan? Mirip sama bapaknya.”