Aku ingat, saat masih menjalani MOS SMP, aku berdiri di depan barisan murid baru bersama seorang anak perempuan berseragam kebesaran. Aku kena ciduk kakak OSIS karena kelupaan membawa perlengkapan hari itu, sama seperti gadis kecil itu.
“Siapa namamu?” tanya kakak OSIS kepadaku.
Aku gemetaran dari ujung kepala sampai jempol kaki. “Krishna….”
Lalu OSIS berwajah seram itu berpindah pada si anak perempuan. “Kamu siapa?”
Anak itu kelihatan siap menangis kapan saja. “Radha,” jawabnya pelan hampir mirip berbisik.
“Oh, jadi ada Krishna sama Radha yang melanggar peraturan hari ini? Cocok banget mereka!” kakak OSIS—aku sudah tidak ingat siapa namanya—berseru. “Cocok banget! Krishna dan Radha. Kayak yang ada di Mahabharata1!”
Sejak saat itu, aku dan Radha selalu diejek dan dijodoh-jodohkan. Awalnya aku sebal dan benci setengah mati pada Radha dan pada kakak OSIS itu. Maksudku, aku masih sebelas tahun dan dicocokkan dengan anak perempuan adalah hal yang memalukan. Namun, lama kelamaan, aku malah benar-benar menyukai Radha. Aku menyukainya dengan segala kelebihan dan kekuranganku sebagai seorang Krishna. Aku menyukainya meski aku tidak akan pernah bisa mengungkapkannya.
Ingatan itu menyusupi pikiran saat aku menyanyi di panggung. Tema hari ini adalah kebahagiaan dan cinta, jadi kami membawakan lagu bertema seperti itu. Live music malam ini sukses berat. Banyak tamu bertepuktangan puas mendengar tabuhan drum Oberon, petikan jemari Lysander pada bass-nya, lantunan musik indah dari keyboard Titania, dan tentunya suaraku dan petikan gitarku. Tidak kusangka menyanyikan lagu gembira bisa membuatku ikut gembira. Untuk sejenak aku lupa pada kenyataan yang menungguku di rumah.
“Puck.”
Aku menengok saat mendengar nama panggungku disebut. Yeah, itu nama panggung. Mana mungkin aku ganti nama jadi Puck!
“Apaan, Hendra?” tanyaku.
Hendra adalah nama asli Lysander. Cowok jangkung itu berdiri di sampingku. Wajahnya diliputi kegelisahan, seolah dia sedang menahan kencing sejak tadi dan memintaku mengantarnya ke toilet.
“Lu kenapa, Hen? Itu muka kusut banget kek kanebo kering.”
“Begini, tadi sore….” Dia membiarkan kata-katanya melayang ke udara begitu saja.
“Lha, bukannya lu bilang kita nggak perlu bahas soal traktiran itu lagi?” Benarkah? Lysander mendatangiku cuma untuk membicarakan soal traktiran bakso itu? Kukira ada yang lebih genting lagi. “Ya udah, lu mau minta ditraktir apa? Bilang sini ke Bos Krishna.”
“Bukan itu, pea!” sentak Lysander. Kedua tangannya menegang di sisi tubuhnya. Kentara sekali dia kepingin mencekikku. “Tadi pagi gue ketemu Ragil, si ketua HMJ itu. Dia bilang, dia pengin band kita tampil sebagai guest star di puncak acara ulang tahun jurusan. Gimana menurut lo?”
Aku lanjut berkemas-kemas acuh tak acuh. “Elu ketua band-nya, kan? Elu yang nentuin, lah.”
“Gue tahu.” Lysander terdengar sedikit grogi. “Tapi gue juga butuh persetujuan dari semua anggota. Oberon dan Titania udah setuju. Tinggal elo yang belum.”
“Oh, gue setuju, deh,” sahutku masih acuh tak acuh.
Sebenarnya, aku tidak pernah memikirkan soal band akan tampil di mana dan kapan. Itu urusan Lysander selaku ketua. Bagiku, asal bisa menyanyi dan memainkan gitar, itu sudah cukup.