Kalau kalian bertanya-tanya untuk apa aku bekerja sambilan di restoran itu, jawabanku adalah uang. Pengobatan Papa tidak murah. Aku harus membawanya ke dokter spesialis saraf seminggu sekali, membelikannya obat-obatan, dan membiayai semua kebutuhan hidup kami. Papa dulu bekerja di perusahaan negeri dan sudah dipensiunkan dini karena penyakitnya. Gaji pensiunnya tidak terlalu banyak, bahkan biasanya sudah habis sebelum pertengahan bulan. Maka akulah yang menyambung hidup kami dengan menjual suara.
Suara adalah senjataku. Aku memang cinta menyanyi, musik, gitar. Aku ingin kecintaanku itu berguna meski saat orang-orang menganggap harapanku itu adalah kebohongan terbesar abad ini.
Pagi ini Papa agak kalem. Dia duduk termenung di meja makan, memandangi sepiring mi goreng dan telur, plus nasi. Aku berencana membawanya ke Dokter Yasa sore ini. Aku ingin tahu apa yang akan Dokter Yasa katakan saat tahu kalau Papa sudah tidak ingat padaku lagi. Bukan hal yang menyenangkan, aku tahu. Tapi setidaknya tidak ada yang perlu disembunyikan lagi.
“Pa, aku berangkat kuliah dulu,” kataku pada Papa. “Habiskan sarapannya, ya? Aku nanti pulang sebelum jam makan siang.”
Papa cuma mengangguk.
Aku pun melangkah pergi. Namun, sebelum aku benar-benar menghilang, aku menyempatkan diri melirik ayahku lagi. Dia terlihat begitu rapuh, seperti anak kecil yang pasrah saja ditinggal oleh pengasuhnya. Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia memang ayah yang dulu begitu kuat dan tegar itu? Apakah aku sanggup menjalani hidup dengannya ketika keadaan semakin jungkir balik tak keruan? Tergesa-gesa, aku membuang wajah darinya dan berlari meninggalkan rumah.
“Oh! Krishna!”
Aku bergidik melihat beberapa tetangga sudah berkumpul di balik pagar rumah. Jantungku berdesir perih, seperti baru saja dibekap dengan senyawa kimia berbahaya. Perlahan, sambil menahan diri agar gigil di tubuhku tak terlalu kentara, aku menghampiri mereka.
“Ya? Ada apa?” tanyaku kepada wanita berdaster oranye yang berdiri di barisan terdepan. Bu Diah tersenyum ramah padaku. Dia adalah tetangga sebelah rumah yang dulu sering mampir sebelum Papa kena penyakit. Dia selalu perhatian, meski sebenarnya, aku tahu dia takut pada keadaan ayahku. Bahkan semua orang di perumahan ini tahu kalau ayahku menderita Alzheimer dan sudah bukan dirinya yang dulu.
“Kemarin malam—lehermu kenapa?” Kulihat mata Bu Diah terpusat tepat pada leherku. Aku merabanya, merasakan sesuatu yang tidak beres di sana. Aku tidak tahu ada apa di sana karena aku tidak sempat bercermin. Ingatanku meluncur mulus ke kejadian kemarin. Jangan-jangan ada bekas di leherku. Cepat-cepat aku menaikkan kerah jaket dan merisleting sampai ke leher.
“Emm … nggak apa-apa kok.” Aku yakin suaraku pasti kedengaran mirip suara kodok kelaparan. Tenggorokanku agak sakit juga, setelah dipikir-pikir.
Bu Diah menghela napas. “Begini, Krishna. Kemarin malam saya dengar ribut-ribut dari rumahmu. Bukan cuma saya saja yang dengar, tapi tetangga lainnya juga.” Dia mengarahkan satu tangan pada kerumunan di belakangnya. Kemudian semuanya hening. Sejenak aku berharap waktu berhenti berputar agar aku bisa merasakan keheningan yang muncul tiba-tiba ini untuk lebih lama.
Namun Bu Diah melanjutkan, “Ada apa semalam, Krishna?”
“Saya juga sempat dengar teriakan bapak kamu,” sahut salah satu dari kerumunan di belakang Bu Diah.
Jantungku serasa baru saja ditembak dan pecah. “Ng-nggak ada masalah kok.”
“Oh, syukurlah.” Walaupun Bu Diah bilang demikian, raut wajah dan nada suaranya tidak mendukung ucapannya. “Kalau begitu, kami pulang dulu.”
“Ya,” jawabku kaku.
“Baik-baik, Krishna.” Bu Diah melangkah kembali ke rumahnya. Satu per satu kerumunan mengikuti keputusannya hingga akhirnya aku berdiri sendirian di depan pagar rumah. Sekujur tubuhku sakit bukan main. Bukan karena kejadian semalam, tapi rasa sakit ini berasal dari suatu tempat di sudut benakku. Sakit sekali.
***