Sembari menunggu kelas berikutnya, aku duduk-duduk di sudut gedung perkuliahan bersama gitarku. Jaket sudah kulepas sejak keluar dari kelas tadi. Rasanya gerah walaupun hari ini mendung dan ada AC di ruang kelas. Di sudut gedung ini sangat sepi. Cuma segelintir mahasiswa yang lewat atau memeriksa tempat ini, lalu mereka pergi lagi. Aku tidak perlu khawatir soal bekas luka di leher.
Mataku tertuju pada halaman belakang kampus yang terlihat dari jendela, jemari tangan kiri memetik gitar dan melantunkan nada-nada acak. Aku memang selalu membawa gitar ke kampus. Siapa tahu dosennya tidak datang, atau misalnya ada jam kuliah dadakan yang berselang satu jam dari jam kuliah sebelumnya. Aku bisa mengisi waktu luang itu dengan bermusik. Selama ini aku memainkan musik berkesan sedih dan muram durja. Tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah memainkan musik gembira. Huh. Gembira, ya?
Sepuluh tahun lalu, ibuku meninggal. Aku masih ingat saat aku menjerit-jerit memangilnya yang sudah memejamkan mata dan tidak kunjung bangun. Aku juga ingat saat Papa menggendongku dan mengelusi punggungku sambil berkata bahwa Mama sudah berada di suatu tempat yang jauh lebih indah, bukan mati. Dia membohongiku soal kematian. Semua orang dewasa begitu kalau sudah membicarakan soal kematian dengan anak kecil. Namun, aku memahaminya dengan caraku sendiri—diriku yang masih delapan tahun—bahwa kematian seseorang akan menyisakan kenangan. Kenangan yang tidak akan terhapuskan bahkan oleh kiamat sekalipun.
Sejak saat itu aku tinggal berdua dengan Papa. Papa adalah segalanya bagiku bahkan setelah dia menderita Alzheimer setahun lalu. Kalau bukan karena dia, aku tidak tahu apakah aku akan melanjutkan hidup atau menyusul ibuku saja.
Nada-nada dari gitar membentuk barisan lagu acak. Alunannya sendu, menyayat hati. Musik ini jauh sekali dari kata gembira yang Radha ucapkan tadi. Tidak ada lirik sama sekali. Aku terhenti tiba-tiba. Kurasa sekarang aku sudah dapat ide untuk intro dan liriknya. Buru-buru aku mengeluarkan buku catatan dari tasku dan menulis dua baris kalimat:
When I see you smile, when I get that tender look on your face,
Heaven’s call it is.
Hmm, memang bukan yang terbaik, tapi aku bisa mengembangkannya lagi dan memberinya kesan gembira itu. Mungkin ada baiknya aku memberitahu Lysander.
“Krishna?”
Aku menoleh pada sumber suara, tidak sadar kalau saat itu aku sedang tersenyum. Di sana ada Radha. Gadis itu sendirian, menyangklong tasnya. Baguslah Tria tidak ada.
“Hei,” sapaku datar. Tangan kiri memutar-mutar pulpen.
“Dari tadi kucariin, lho,” katanya, yang sukses membuat jantung dan sekujur tubuhku bergetar. Seperti baru menyadari bahwa dirinya baru saja bicara, wajah Radha memerah. “Eh, maksudnya … aku….”
Aku terkekeh dan menepuk bangku lengang di samping. “Sini, duduk.”
Radha duduk dengan perlahan seakan beratnya tiga kali lipat. “Kenapa di sini? Nggak kumpul-kumpul sama yang lainnya?”
Aku memetik-petik gitar lagi. “Gue cuma pengin sendirian bentar.”
“Oh.” Radha menggeser posisinya sedikit ke kiri, menjauhiku. “Apa tadi itu lagu barumu?”
“Maunya begitu,” jawabku. Petikan gitarku membentuk alunan nada baru. Nadanya sendu sekali. Mungkin cocok dengan lantunan yang sebelumnya. Aku harus mengingat kuncinya. Dengan sedikit tweak, kesan sedih itu bisa diubah menjadi gembira. Kuharap.
“Bagus kok. Kesannya bagus banget.”
Aku tahu Radha bohong. Gadis itu selalu mengatakan yang baik-baik tentangku. Setidaknya aku bisa sedikit bahagia. “Trims.”