Lysander, Oberon, dan Titania melongo memandangku yang baru tiba di belakang panggung. Itu bukan jenis wajah kagum atau senang. Raut wajah mereka lebih terarah ke kesan jengkel mendalam.
“Sori. Gue telat,” kataku ringan.
“Itu aja?” Lysander menghampiriku. Dia sudah bersiap dengan bass kesayangannya yang penuh stiker. Kulihat tangannya mengepal kuat seakan siap menghajarku kapan saja.
“Sori. Ada kendala. Di rumah,” aku menjelaskan, berharap yang barusan itu memang benar-benar jelas. Mengabaikan Lysander dan tatapan aneh dari Oberon dan Titania, aku menyiapkan gitar. Gantungkan strap-nya di bahu sebelah kanan, atur tuning peg-nya sebentar, petik semua senar dalam satu gerakan. Bunyinya oke. Sip, aku sudah siap.
“Sudahlah. Ayo!” Lysander melipir bersama bass-nya ke panggung.
“Jangan diambil hati, Puck. Lysander emang pemarah,” pesan Oberon sambil mengetuk pelan bahuku. Lalu dia mengikuti Lysander.
“Lysander itu emang keras kepala. Tahu nggak kenapa temen lo yang namanya Radha itu selalu nggak nyaman sama kami?” Titania memberi tahuku. Ucapannya barusan benar-benar menarik perhatianku. “Itu gara-gara Lysander. Dia kan terkenal pesolek dan punya tampang yang boleh juga. Yah, semua cewek juga pasti bakal ngerasa begitu. Dulu gue juga, sih. Untungnya ada Oberon.” Kemudian dia juga menghilang ke panggung.
Aku menghela napas. Kenapa rasanya band-ku ini dipenuhi orang-orang aneh? Dan aku adalah salah satu dari orang-orang aneh itu.
Perasaanku sedang agak kurang baik—berkat kegundahan dan kegelisahan yang kudapatkan di rumah tadi—saat aku naik ke panggung. Hari ini kami kedapatan beberapa lagu. Setelah memainkan intro lagu pertama, aku menarik napas dan mulai menyanyi. Gawat! Tenggorokanku masih sakit! Aku kembali terbayang-bayang kejadian nahas itu. Tidak, tidak, tidak. Jangan diingat, Krishna! Mataku menajam pada para tamu restoran, lalu kupasang senyum, dan menambah volume suara. Aku harus terdengar lebih gembira lagi.
Tadi, setelah makan siang, aku membantu Papa membersihkan diri dan membawanya ke Dokter Yasa. Butuh berkali-kali peringatan agar Papa tidak melepas pegangannya dari pinggangku karena kami berboncengan motor. Dokter Yasa sangat ramah dan pengertian. Aku mengenalnya sejak pertama kali menemani Papa periksa sekitar setahun lalu. Dia mendengarkan seluruh ceritaku tanpa menyela sama sekali. Yang dia lakukan selama aku bercerita hanyalah mencatat.
“Begitulah, Dokter. Saya nggak tahu harus … gimana,” aku menutup cerita panjang itu dengan helaan napas. Papa duduk di sampingku, memandang ke luar jendela di belakang kepala Dokter Yasa.
“Nggak apa-apa, Dik Krishna,” jawab dokter itu, masih menulis. Dia suka sekali memanggilku Adik padahal usia Dokter Yasa sudah di atas empat puluhan. “Gejala seperti ini memang sering terjadi—melupakan nama anak sendiri, bahkan wajahnya, suka melamun, marah-marah. Berdasarkan cerita kamu, Pak Surya perlu pengawasan ketat dan teman yang bisa selalu ada di sisinya. Apa kamu nggak ada sanak saudara di Jakarta yang bisa merawat papa kamu di rumah? Karena saya tahu, kamu kuliah dan pasti banyak kegiatan di kampus.”
Aku mengangkat bahu. “Keluarga saya ada di luar Jakarta semua, Dok. Jadi, mau nggak mau, cuma saya yang bisa merawat Papa.”
Sebenarnya, aku tidak memberi tahu keluarga mengenai keadaan Papa. Aku takut mereka akan membawa Papa pergi, dan aku akan sendirian di sini. Memang kadang melelahkan merawat Papa yang sakit ini, tapi penyakit ini bukan salahnya. Aku anaknya, maka akulah yang harus merawatnya.
“Oh,” Dokter Yasa menghela napas. “Tapi saya yakin, kamu pasti bisa merawat papa kamu.”
Aku—delapan belas tahun, mengenakan jaket yang dirisleting sampai ke leher, gemetaran mirip hewan yang hendak disembelih—baru saja merasa menjadi orang paling penting di dunia. Tentu aku tidak menceritakan bagian Papa mencekikku. Seperti yang sebelum-sebelumnya, aku tidak mau Dokter Yasa menganggap ayahku melakukan kekerasan. Aku hanya memberitahu Dokter Yasa kalau ayahku sering marah-marah—seperti memaki, mengejek, teriak-teriak tak jelas. Dan tadi adalah jawabannya.
“Saya kasih tips supaya Pak Surya bisa ingat kamu lagi,” sambung Dokter Yasa sambil menggeletakkan pulpennya. Aku selalu geli melihat seseorang yang menulis dengan tangan kanan—yeah, karena aku kidal. Kini dia mengangkat wajah dan menatapku lurus-lurus. Kesannya ramah, tapi serius.