Summer Dream

Metha
Chapter #8

BAB DELAPAN

Radha ternyata sudah menungguku mampir ke tokonya Sabtu pagi ini. Dia sendiri yang bilang begitu. Wah, aku jadi tersanjung. Maksudku, bukan cuma ibunya saja yang menantikanku, tapi Radha juga. Jadi ada dua orang wanita yang setia menantikan kedatanganku bahkan tanpa diminta. Kapan lagi aku bisa merasa seistimewa ini?

“Ada banyak bunga datang hari ini,” umum Radha, kedengaran begitu gembira. Lumayan bikin kening berkerut, sih. Soalnya kegembiraan seorang mahasiswa biasanya hanya berasal dari hari libur atau batalnya suatu perkuliahan. “Mawar kuning, ungu, krisan kuncup, bunga matahari juga. Aku sudah pisahkan krisan putih dan krisan warna lainnya khusus buat kamu.”

Lihat? Aku memang istimewa! “Wah, lu baik banget, Radha. Tahu aja gue emang cuma beli krisan putih.”

Radha tertawa. “Soalnya itu kebiasaanmu.”

“Tapi hari ini gue mau beli yang banyak,” kataku, memindai bunga-bunga dalam ember raksasa yang memenuhi toko. Kertas-kertas hias dan pita-pita berserakan di salah satu sudut toko. Ada juga karangan bunga besar dengan styrofoam bertuliskan Selamat dan Sukses. “Gue mau beli sebuket lengkap semua jenis bunga yang warnanya putih.”

“Aku kasih diskon!” Radha melonjak di tempat mirip kelinci yang diiming-imingi wortel. Gadis itu seketika melompat ke setiap ember, mencomot setangkai bunga berwarna putih, lalu berputar-putar di tempat seperti adegan dalam film India. Aku meringis geli melihatnya. Biasanya Radha malu-malu dan takut-takut seperti anak TK yang kesasar di supermarket. Itu lucu. Dan saat dia bertingkah aneh seperti sekarang ini, aku semakin menyukainya.

Bunga-bunga itu diletakan di meja kasir. Mawar, krisan, melati, anyelir, dan beberapa jenis bunga yang tidak kuketahui namanya. Semuanya berwarna putih. Radha merangkainya dengan pita dan plastik bercorak. Gerak tangan gadis itu cepat sekali sampai mataku tidak bisa mengikutinya. Dia pasti telah melakukan hal ini berjuta-juta kali sampai saraf-saraf di otak dan otot-otot di tangannya bergerak secara otomatis.

Beberapa saat kemudian, bunga-bunga itu sudah menjadi satu buket cantik yang pasti bakal membuat cewek jatuh cinta kalau aku hadiahkan. Sayang sekali aku tidak akan memberikan buket itu kepada cewek mana pun.

“Apa kamu ke sini sendirian?” tanya Radha setelah aku membayar buket itu—diskonnya sepuluh persen!

“Uh, ya. Gue kan emang sendirian terus ke sini,” jawabku jujur dan tanpa curiga.

“Naik motor?”

“Uh, ya. Gue kan cuma punya motor.”

“Kalau kamu sendirian, gimana kamu bawa buketnya?” Radha masih memegangi buketku bahkan setelah aku membayarnya. Ingin rasanya menyambar buket itu darinya dan mengeloni buket untuk diriku sendiri.

“Pakai satu tangan juga bisa,” ujarku, menujukkan tangan kiriku lalu mengepal-membukanya secara bergantian. Andai gas motor bisa dipindah ke setang kiri, itu akan lebih menguntungkanku.

“Krishna, itu bahaya!” sergah Radha. Nah, ini kesekian kalinya aku mendengar Radha marah. “Aku bawain buketnya. Kamu pulang aja duluan.”

Lihat selengkapnya