Summer Dream

Metha
Chapter #9

BAB SEMBILAN

Buket bunga yang dari toko Radha kuletakan di kamar Papa. Tadinya aku membeli buket itu untuk kuberikan pada Papa demi menceriakan suasana hatinya saat aku akan menjelaskan isi album foto itu. Kini Papa sudah mengingat wajah dan namaku, meski dia masih tergantung pada album foto itu. Aku memakluminya. Dia memang memerlukan sesuatu yang bisa terus dia perhatikan agar fokusnya tidak tergoyahkan. Dokter Yasa-lah yang menyarankan hal ini. Dia yang memintaku membuat album berisi fotoku, termasuk perkembangan fisikku dari tahun ke tahun. Hasilnya sangat memuaskan. Papa sekarang sudah bisa menyebut namaku lagi.

Aku duduk di ruang tengah bersama Radha. Dia tidak mau kuantar pulang. Katanya dia mau menunggu dijemput oleh ayahnya saja. Karena menghindari perdebatan dengannya, aku setuju saja. Ayahku duduk di sofa lain, menonton televisi. Meskipun dia sudah bisa menyebut namaku dan memandangku dengan normal, dia masih perlu pengawasan ketat.

Sembari menunggu Radha dijemput, aku memainkan gitarku dan memelototi dua baris kalimat di buku catatanku. Aku memang sudah punya gambaran akan seperti apa lagu baruku nanti, tapi aku belum memikirkan lirik pastinya.

“Lagumu gimana?” Radha memandangi buku catatanku. Matanya yang besar bergulir-gulir membaca dua kalimat itu berkali-kali.

“Belum gue lanjutin. Tapi gue udah punya gambarannya,” balasku enteng. Jemariku bergerak otomatis memetik kunci-kunci intro dan outro berkali-kali. Susah sekali mewujudkan gambaran dalam kepala itu. Kalau aku memejamkan mata, aku bisa melihat jelas lirik-lirik itu dan mendengar komposisi musiknya. Namun dengan demikian, cuma aku yang tahu. Memangnya siapa, sih, yang mau menikmati lagu semacam itu? Alien dengan pendengaran ultrasonik? Manusia bukan alien. Aku harus bisa merealisasikan lagu itu.

“Sini! Biar kucoba!” Radha merampas buku catatan dan pulpenku. Dengan hati-hati dia mendekap buku itu dan menekan bagian belakangnya dengan satu tangan. Dia menuliskan sesuatu di sana, memandang langit-langit untuk berpikir, lalu menulis lagi.

“Radha, nulis lagu itu nggak segampang nyatet omongan dosen,” omelku, merasa seperti pria tua berusia seribu tahun yang tahu kalau rasa hidup ini bukan cuma asam garam tapi juga asin gula—ugh, itu gagasan yang sinting.

Radha mengabaikanku. Kulihat pulpen menari-nari lincah di antara jemarinya, sementara televisi menayangkan acara bincang-bincang yang sepertinya tidak menarik sama sekali di mata ayahku.

“Nah! Selesai!” Radha menyerahkan buku kembali kepadaku—tepat di depan hidungku.

Aku menerimanya dengan sedikit kesan mencibir. Kubaca tulisan Radha yang tidak begitu bagus, miring ke kiri, jarak antara katanya lebar-lebar, dan tulisannya membulat mirip font comic sans ms di komputer. Dia menulis dalam bahasa Inggris.

When the sun smiled bitterly at me

healing lights were fading into simmering fogs.

Pain tremor my fragile skeleton.

I realized; the tomes and temple would not wait.

Eh, tunggu dulu! Ini puisi! Aku tahu puisi ini! Ini, kan, puisi yang pernah Radha buat dulu! Puisinya sempat dimuat di majalah kampus, jadi jelas aku tahu! Yang dia tulis di bukuku ini belum seluruh puisinya. Aslinya puisi Radha panjang dan berjubel mirip dinding kata-kata puitis yang bikin kepala pening.

“Hah?” kataku. “Hah?!”

“Ini puisi favoritku.” Radha tersenyum malu-malu padaku. “Aku bikinnya cuma dalam dua hari, lho!”

Aku tergelak. “Radha, elu ini ya!” Aku membalik ke lembar berikutnya. “Gue mau nulis lagu yang gembira. Kayak pesan lu waktu itu.”

Lihat selengkapnya