Summer Dream

Metha
Chapter #10

BAB SEPULUH

Hati manusia benar-benar suatu entitas yang aneh bukan kepalang. Setelah hampir setahun lebih aku merasakan diriku merana, menyudutkan diri karena cobaan yang kupikir tidak akan pernah bisa kulewati, kini aku bahagia. Selama tiga minggu berikutnya, aku merasakan suatu jenis kebahagiaan yang memenuhi dadaku sampai sesak. Kebahagiaan itu bukannya tidak beralasan, tentu saja. Kebahagiaan itu didatangkan oleh orang-orang yang ada di sekitarku.

Summer Dream rutin mempraktikkan Tunes of Tomorrow setiap jadwal latihan. Lysander juga sudah membuat daftar lagu-lagu apa saja yang akan kami bawakan di puncak acara ulang tahun jurusan. Dia bahkan sudah mengajukan rencana photo set pertama band kami agar kami bisa nampang di baliho, billboard, spanduk, dan selebaran yang akan dijadikan ajang promosi acara ulang tahun jurusan.

Sebagai lead vocal, akulah yang bertanggungjawab atas kesempurnaan lagu itu. Hanya tiga bulan tersisa hingga hari H. Aku ingin lagu ini jadi yang paling sempurna di antara lagu-lagu ciptaanku yang lain. Setiap hari aku mempraktikkan lagu ini, merevisi, mengkomposisi ulang. Kadang teman-teman mengeluh karena aku terus menerus memberikan revisi. Kukatakan kepada mereka, lagu ini harus sempurna. Harus.

Hari Minggu ini, aku duduk di halaman belakang rumah untuk mengawasi ayahku. Ayahku sedang menyemproti bunga-bunga seperti yang biasa dia lakukan. Tadinya kegiatan membosankan ini hanya diramaikan oleh petikan gitarku dan suara semprotan air. Namun saat jam menunjukkan pukul sebelas, Radha datang.

Radha bilang dia ingin menjenguk ayahku. Alasannya itu didukung dengan sebuket bunga putih dan kue-kue kering. Entah itu memang tujuannya atau yang lainnya. Terserahlah. Aku, sih, oke saja kalau Radha mampir. Hanya saja, dia kerap memperhatikanku tanpa suara saat aku memainkan gitar.

“Elu pernah coba main gitar?” tanyaku asal, berusaha mengenyahkan kecanggungan. Setelah kupikir-pikir, lucu juga kalau ada anak perempuan mampir ke rumah anak laki-laki.

Radha salah tingkah. Wajahnya merah padam. “Belum pernah….”

“Mau coba?”

Radha merengek-rengek. “Nggak bisa! Aku nggak bisa main gitar kidal kayak punyamu!”

“Nih.” Aku menyurukkan gitar ke pelukannya. Radha menerimanya tanpa protes, lalu mengalungkan strap ke badannya dengan satu gerakan ringan. Saat dia memposisikan tangan di leher gitar dan senar-senarnya, kurasa dia bukan seorang amatir.

“Aneh. Maksudku, gitarmu ini,” akunya, memetik satu-dua senar dengan canggung. “Wow! Nadanya kebalik! Mirip gitar dari dunia antah berantah!”

Nah, apa pula maksud omongannya itu?

“Hei, taruh jari kanan lu di frets!” aku menyentak. Tujuanku sebenarnya untuk bersenang-senang saja. Karena waktu itu aku kalah debat, sekarang aku ingin menjahilinya.

Radha melakukan seperti apa yang kuperintahkan. Jemari kanannya berdiri di atas dawai-dawai pada leher gitar, tepat di frets. Aku bahkan belum memberitahunya yang mana frets. Jadi aku bertanya, “Beneran elu belum pernah main gitar sebelumnya?”

“Belum! Sumpah!” Radha ngotot. Aku bisa melihat sekilas kebohongan di matanya.

“Kalau gitu, coba petik senarnya. Nada rendah aja,” perintahku, menaikkan satu alis dan memasang tampang jail. Sesuai perintahku, Radha memetik senar keenam, senar paling tebal dan posisinya paling bawah. Aku harus menahan tawaku yang nyaris meledak ini. Radha bohong. Aku yakin Radha sudah pernah main gitar sebelumnya.

“Boleh aku dengar lagu barumu?” tanya gadis itu sembari menyerahkan gitar kembali padaku. Ada sekilas kesan malu di wajahnya. “Kamu bilang kalo lagu itu selesai, aku harus jadi orang pertama yang denger.”

“Lagunya belum selesai, Radha. Masih belum sempurna,” kataku. Dengan gitar di tangan, rasanya aku baru saja mendapatkan sesuatu yang melengkapi diriku. Ibaratnya seorang prajurit dalam game RPG, gitar ini mungkin adalah pedangku.

Lihat selengkapnya