Summer Dream

Metha
Chapter #11

BAB SEBELAS

Sesampai di rumah, aku mengeluarkan buku catatan yang sudah penuh sesak dengan lirik dan kunci gitar. Aku merobek setiap lembarnya, kemudian mencabik-cabiknya sampai tak tersisa lagi. Aku juga menghapus seluruh rekaman lagu bodoh itu dari ponsel. Terserah mau terjadi apa. Aku sudah tidak peduli lagi dengan lagu, band, atau acara ulang tahun jurusan.

Badanku sakit semua. Tanpa pikir dua kali, aku merebah di tempat tidur dan memandang langit-langit membosankan. Entah ini efek dari pertengkaran tadi atau aku cuma kelelahan. Tenggorokanku juga. Rasanya leherku seperti sedang dicekik dan dicabik-cabik.

Saat pikiranku melayang-layang entah ke mana, aku mendengar pintu kamar dibuka. Aku berguling cepat, berdebar-debar dan panik. Di rumah ini aku hanya tinggal berdua dengan ayahku dan ayahku sedang sakit, jadi wajar kalau aku berpikir yang membuka pintu adalah maling atau hantu. Ternyata bukan—syukurlah. Ternyata itu ayahku. Di tangannya terdapat album foto buatanku. Sejak hari dia menemukan album, dia tidak bisa melepasnya barang sedetik pun—dan aku tidak sangat bersyukur—agar dia bisa terus mengingatku.

“Papa?” lirihku padanya, bergerak bangkit dari posisi merebah.

Papa memandangku sendu, seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Dia menghampiriku perlahan, lalu duduk di sisi ranjangku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya atau tingkah apa pun yang dia lakukan. Dia hanya duduk di sana, memandang langit-langit, mungkin berpikir.

“Pa, apa Papa udah lapar? Mau makan apa? Nanti aku beliin?” tanyaku.

Dia menoleh padaku. Butuh waktu selama-lamanya baginya untuk menyadari keberadaanku dan menyebut namaku, “Krishna. Kamu kelihatan sedih.”

Jantungku baru saja dilempar sebatang besi panjang yang runcing di ujungnya. Lalu jantung itu pecah dan jatuh ke lantai kamar. “Papa … aku….”

Papa masih mengamati wajahku. Dilihat dari caranya mengamatiku, dia bagai sedang membaca tulisan kasatmata yang terselip di lekuk-lekuk wajahku. “Orang sedih selalu murung. Orang sedih tidak pernah mencampakkan benda kesayangannya begitu saja.”

Mencampakkan? Aku teringat pada gitar yang kugeletakan begitu saja di meja ruang tamu tadi. Tentu aku tidak membantingnya atau memukulkannya ke tembok meski perasaanku sedang morat-marit. Gitar itu mahal dan untuk membelinya aku harus memohon-mohon pada Papa. Itu kejadian memalukan sekitar tiga tahun lalu.

“Sayangilah apa yang ada di sekitarmu seperti kamu menyayangi dirimu sendiri,” lanjut Papa. “Mungkin memang kedengaran munafik, tapi cinta bukan sekadar perasaan yang mampir ke hatimu. Cinta itu sebuah praktik dalam memperlakukan sesuatu atau seseorang. Cinta itu nggak sempurna. Tapi cinta itu sempurna dengan caranya sendiri.”

Aku memandangnya dalam-dalam. Menggosok mata, kulihat Papa membalik-balik halaman album foto di tangannya. Dia berhenti di halaman terakhir, di mana terdapat beberapa lembar kertas penuh gambar corat-coret yang, kurasa, dia buat sendiri. Di sana ada gambar wajah anak laki-laki dan tulisan KRISHNA di kepalanya. Juga ada gambar gitar dengan tulisan GITAR KRISHNA. Di antara dua gambar itu terdapat gambar lain yang hanya dengan melihatnya sudah mampu melelehkan jantungku—gambar hati besar. Hati, jantung, cinta, heart, love, apalah sebutannya.

“Papa….” Aku tersenyum kecut. “Makasih.”

Papa tidak membalas. Tidak masalah. Semuanya akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja karena aku masih punya Papa.

Songs in our heads; live life through their tunes.

Lihat selengkapnya