Ternyata benar!
Ternyata Radha dan Lysander memang ketemuan di halaman belakang gedung perkuliahan! Aku merapatkan diri di balik dinding, teringat pada tingkah Radha dulu yang memanggilku dengan melambai dari sini. Hanya ada Radha dan Lysander di sana. Mereka berhadap-hadapan, posisi dekat sekali. Aku bisa melihat sekilas keraguan di wajah Radha dan sekilas keberanian di wajah Lysander. Adegannya mirip dengan kisah cinta di sinetron remaja. Huh, aku tidak bisa mendengar suara mereka. Tapi kalau aku mendekat lagi, bisa-bisa aku ketahuan. Ternyata jadi mata-mata itu sulit.
Kuperhatikan, Radha bertingkah aneh. Lysander terus mendesaknya—dan itu kulihat dari gerak tubuh juga mimik bibirnya. Radha mundur selangkah, menggeleng-geleng, wajah merah padam. Lysander masih mendesak, tapi tidak berteriak. Kemudian dia meraih tangan Radha dan bicara lagi. Wah, gila! Dia menyentuh tangan Radha! Aku saja belum pernah menyentuh tangannya begitu!
Lysander melepaskan tangan Radha. Mereka bicara sebentar, lalu Lysander berbalik dan masuk ke pintu ganda di sudut sana. Radha memandangi cowok itu sampai pintu menutup di balik punggungnya. Dia mengangkat bahu, kemudian mundur berjalan ke arahku. Ke arahku. Saat ini aku bukan cuma sedang bersembunyi di balik dinding, tapi juga jalan lebar yang mengarah pada parkiran—yang artinya jalan satu-satunya menjauh dari Lysander. Namun, ini malah jadi kesempatan emas bagiku. Aku menunggu di balik dinding dengan kesabaran mirip sumbu terbakar.
Tepat saat Radha berjalan melintasiku, aku meraih tangannya dan menariknya ke balik dinding. Kuberdirikan dia di hadapanku, kutatap wajah merahnya dan matanya yang membulat sempurna. Rambut ikal gadis itu berantakan tertiup angin.
“Nah, ketahuan,” kataku pelan dengan maksud menusuk di setiap suku kata. “Lu ngomong apa sama Lysander tadi?”
“Lysander?” dia melempar balik pertanyaanku.
“Hendra. Semua anggota Summer Dream—band kami yang bego—punya nama panggilan yang diambil dari drama Midsummer Night’s Dream karya Shakespeare. Hendra jadi Lysander, Wahyu jadi Oberon, Maria jadi Titania, dan gue jadi Puck. Jangan bilang lu udah lupa,” tegurku. Entah kenapa suaraku tidak kedengaran seperti biasanya.
“Oh, gitu. Sori, aku lupa,” kilahnya. “Ke-kenapa kamu di sini, Krishna? Kukira … umm….”
“Tadi lu ngomong apa sama Lysander?” tanyaku lagi. Tanganku masih mencengkeram tangan Radha erat-erat.
“Oh, itu…. Cuma…,” dia tergagap. “Cuma soal….”
“Cuma soal apa?” tuntutku, menaikkan nada suara sampai aku kedengaran agak berteriak.
“Bukan apa-apa, Krishna!” Radha menyentak. Dia berusaha melepas cengekeramanku dari tangannya. “Kamu ini kenapa, sih?”
“Gue? Bukannya elu yang kenapa?” balasku kasar. “Demi Tuhan! Kenapa sekarang semua orang malah nyalahin gue? Kalian lebih buruk daripada pria tua yang menderita Alzheimer!”
Radha melotot. “Krishna, kamu….”
“Ah, gue tahu!” cibirku dengan nada mirip bernyanyi. “Lysander pasti nembak lu, kan? Dia pasti bilang kalau dia suka sama lu, selalu mikirin lu siang dan malam, nulis lagu buat lu, dan semua bullshit soal cinta itu. Dan lu juga suka dia, kan? Maka dari itu lu nggak pernah mau nongkrong sama Summer Dream! Karena lu pasti bakal jadi canggung di depan Lysander. Iya, kan?”
Mata Radha semakin lebar. Wajahnya pun semakin merah padam mirip tomat. “Krishna, kamu … sakit, ya?”
“Ha ha! Bener, kan? Jadi, lu pasti minta diberi waktu berpikir—sehari atau seminggu—terus lu bakal bilang ke Lysander kalo lu terima dia jadi pacar lu. And happy ending! Congrats! Balls, dances, champagne, BULLCRAP!”
Radha bergeming. Dia bahkan tidak mengeluarkan suara yang selirih cicitan tikus sekalipun.
“Ya ampun, ya ampun, ya ampun!” Aku melepas Radha dan gantian mencengkeram kepalaku sendiri. Tubuhku bergerak dalam lingkaran-lingkaran kecil dengan hentakan keras dari kaki. “Lama-kelamaan gue bisa gila!”
“Jangan ngomong yang bukan-bukan, Krishna!” Radha balas membentakku. “Kamu bikin takut!”