Summer Dream

Metha
Chapter #13

BAB TIGA BELAS

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku tergeletak di sofa dan terbungkus selimut. Aku beranjak dan terkaget-kaget sendiri. Ada sekitar dua ribu pertanyaan memenuhi kepalaku saat ini, seperti kenapa aku di sini, kenapa ada selimut di tubuhku, dan kenapa aku tidak ingat apa yang menyebabkan aku tidur di sofa. Kuteliti badanku yang masih mengenakan kemeja, jaket, dan jeans. Bahkan sepatu masih terpasang di kakiku. Astaga, apakah aku baru saja memasuki portal fiksi ilmiah milik alien berkulit biru dan ditransfer ke sini? Dan, lho? Ini rumah siapa?

Ada sesuatu lengket di keningku. Aku menyentuhnya secara refleks. Sesuatu itu merekat ke kulitku, dan saat kugaruk, sesuatu itu terselip di kuku. Aku memperhatikan semacam jelaga merah gelap di kukuku itu. Ini apa? Kepalaku juga terasa sakit bukan main.

“Krishna? Sudah bangun?”

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Lho, itu Bu Diah. Kenapa dia di sini?

Bu Diah duduk di sofa tunggal di sebelah kananku. Sontak aku menjaraki diri darinya dan memasuki mode bertahan, waswas kalau wanita itu hendak melakukan sesuatu padaku.

“Seharusnya kamu tidur di kamar tamu saja, Krishna. Kan nggak enak tidur di sofa,” katanya, tersenyum lembut.

“Oh, ya?” Aku masih dalam mode bertahan. Untuk sesaat aku seperti merasakan ancaman menyeruak keluar dari tubuh wanita itu.

“Kemarin malam…. Kamu ingat, nggak?” tanyanya.

Wajahku memerah, jantungku berdebar kencang. Apa ini? Apa jangan-jangan aku telah melakukan hal-yang-sinetron-banget sampai harus masuk panti rehabilitasi mental? Gila! Yang benar saja! Mana mungkin aku benar-benar melakukan hal terkutuk itu!

“Emm … papamu baik-baik aja,” lanjut Bu Diah. “Dia kalem sekali pagi ini. Suami saya dan Pak Ngurah nginap di rumahmu. Katanya mereka mau nemenin Pak Surya.”

“Papa kenapa?” Sambil bertanya, aku melirik pakaianku yang baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda telah terjadi hal terkutuk dan memalukan. Aku masih kelihatan seperti manusia terhormat yang kebetulan bangun di rumah tetangga.

Bu Diah memberiku tatapan simpatik. “Kamu nggak ingat? Kemarin malam kamu sama ayahmu…. Apa kamu bener-bener nggak ingat?”

Gara-gara ucapannya, kini aku memutar kembali kegiatanku kemarin. Pertama, aku berangkat kuliah. Kedua, aku tampil di restoran. Lalu, Bos menegurku. Dan akhirnya, gajian. Setelah itu … setelah itu….

“Kemarin malam, kalian bertengkar,” Bu Diah mengingatkanku. “Saya nggak tahu apa sebabnya, tapi begitu saya dengar teriakan-teriakan dari rumahmu, saya dan suami langsung ke sana. Saya lihat ayahmu lagi marah-marah dan kamu lagi ngomong ke dia.”

Oh, ya, benar. Sekarang aku ingat. Kemarin Papa marah-marah lagi. Kemarahannya didominasi oleh pernyataan kekesalan dan kekecewaan pada keadaannya saat ini. Aku meraung, memohon, membiarkan diriku jadi pelampiasan kemarahannya.

“Papa, jangan begini! Jangan marah lagi, Papa! Papa, aku sayang Papa. Aku sayang Papa!” Aku juga ingat mengucapkan kalimat itu berkali-kali padanya. Papa bukan cuma melampiaskan amarahnya dengan menjerit dan menangis, tapi juga gerak ringan tangannya. Kalau dulu dia mencekikku, tadi malam dia … dia memukulku dengan vas bunga keramik. Dia memukulku keras sekali sampai aku ambruk dan … akhirnya bangun di sini.

Mataku bergulir pada sisa jelaga merah gelap di kukuku. Itu darahku. Yeah, benda lengket itu darah. Semalam, aku menolak dibawa ke rumah sakit. Takut kalau dokter atau siapa pun di sana akan memanggil polisi dan menjebloskan ayahku ke penjara. Itu gila!

“Krishna, saya khawatir kalau Pak Surya bakal bertingkah seperti kemarin lagi,” ungkap Bu Diah, lebih ke arah dirinya sendiri daripada diriku. “Saya rasa lebih baik Pak Surya didaftarin ke panti jompo terdekat supaya ada yang mengurusinya siang-malam.”

Aku berjengit di tempat.

“Kamu masih kuliah dan kerja sambilan. Kamu tidak bisa terus-menerus menemaninya dan mengurusi kebutuhannya. Yang Pak Surya butuhkan sekarang adalah seseorang yang bisa selalu ada untuknya kapan saja,” tambah Bu Diah dengan hati-hati.

Lihat selengkapnya