Kubiarkan Papa memilih bunga yang dia sukai sementara aku duduk di kursi plastik berseberangan dengan Radha di belakang meja kasir. Aku ingin sekali membuka percakapan dengannya sesingkat apa pun percakapan itu. Namun, lidahku terasa kelu. Barangkali lidahku sudah kehilangan kemampuannya membentuk kata-kata seperti saat-saat genting yang lalu. Itulah mengapa kadang aku tidak suka pada lidahku. Tetapi seringnya, aku menyukai lidahku yang telah memberiku kesempatan untuk bicara dan menyanyi.
“Krishna.”
“Radha.”
Wah, klise sekali! Aku dan Radha kebetulan saling memanggil nama pada saat bersamaan. Ini pasti salah satu formula klise yang membangun hidup ini.
“Haha, apa?” aku menyahuti dengan bumbu tawa masam.
Radha tertawa lirih. “Sori. Aku cuma nggak enak aja kalo diam-diaman begini.”
“Sama.” Mataku bermuara pada sosok ayahku yang berlutut di depan salah satu ember penuh bunga matahari. Kupikir dia bertingkah mirip anak TK di toko permen.
“Soal Hendra—maksudku, Lysander,” kata Radha, dan seketika aku menegang di tempat. “Waktu itu dia cuma titip pesan.”
“Pesan?” Aku mengernyitkan dahi. “Pesan apa?”
Radha memilah-milah tumpukan kertas koran yang ada di meja. Sambil memandanginya—aku yakin dia tidak membacanya—dia berkata, “Umm sederhana aja sih. Dia pengin aku ngasih tahu kamu kalo Summer Dream bukannya ngeremehin lagu ciptaanmu. Summer Dream waktu itu cuma kecapekan dan emosi. Kamu tahu, kan, kalau orang yang kecapekan setengah mati, emosinya pasti cepat tersulut. Lysander bilang, itulah yang terjadi sama Titania waktu latihan. Summer Dream butuh kamu, Krishna. Kamu adalah aset berharga Summer Dream.”
“Oh.” Adalah komentarku.
“Krishna, aku juga sudah perhatiin kalau sekarang kamu ngehindarin Summer Dream,” lanjut Radha, tidak terusik oleh komentar singkat dan dinginku. Dia sekarang beralih dari koran pada wajahku. “Lysander ngasih tahu aku lewat WA. Katanya, belakangan ini performamu di restoran juga nggak maksimal. Lysander tahu semua itu gara-gara pertengkaran kalian.”
“Lu akrab banget sama Lysander, ya?” sindirku, memandang arah lain yang bukan mata Radha. “Apa sekarang kalian pacaran?”
Jantungku remuk redam saat mengatakan kalimat terakhir itu.
Radha mendelik. “Ya nggak lah, Krishna! Nggak ada apa-apa di antara kami. Aku sama Lysander sering ngobrol buat ngomongin soal Summer Dream dan kamu. Itu aja!”
Aku membisu. Lebih baik diam dan memperhatikan tingkah ayahku daripada menyahuti omongan Radha. Soalnya aku yakin kalau dia bohong. Radha suka berbohong. Seperti saat dia bilang suaraku bagus, saat dia bilang aku adalah gitaris terhebat yang pernah dia temui, atau seperti saat dia bilang kalau dia selalu nyaman bersamaku.
“Krishna,” Radha meraih tanganku yang menyebabkan aku memalingkan wajah padanya, “jangan terjerumus dalam keegoisan. Jangan terobsesi pada kesempurnaan.”
“Hah?” Cuma itu yang bisa kuutarakan. Kurasa sebentar lagi aku akan mendaftarkan kata Hah ke pihak berwenang agar aku jadi pemilik hak ciptanya.
“Summer Dream suka lagumu dan seluruh ciptaanmu,” kata Radha lagi. Kemudian wajahnya memerah sempurna dan perlahan dia menambahkan, “Aku juga.”
Aku nyaris saja bilang Hah lagi. Untung aku bisa mengatakan yang lainnya, “Elu, kan, sukanya sama Lysander!”
“Enggak, Krishna!” Radha mendelik. Tangannya masih memegangi tanganku. “Aku nggak pernah suka Lysander, Krishna!”
“Terus, kenapa lu nggak pernah mau kumpul-kumpul sama gue dan Summer Dream?” Aku bagai baru saja masuk ke portal sihir dan keluar lagi sebagai bocah tengil berusia empat tahun. Cara bicaraku mirip sekali dengan cara bocah cilik menuntut sesuatu.