“Eh, temannya Hendra! Sini, masuk, masuk!” Bu Desi, ibu Hendra, menyambutku ramah meski aku datang malam-malam. Sekarang sudah hampir jam delapan dan untungnya tidak hujan seperti perkiraanku tadi. Latihan mingguan Summer Dream berlangsung dari pukul enam sore sampai delapan malam. Kadang malah sampai tengah malam jika Lysander atau Oberon punya film hasil download-an terbaru. Aku buru-buru mengangguk dan tersenyum sopan. Tertatih-tatih memasuki rumah Lysander, aku memperbaiki posisi gitar di punggung untuk kesekian kalinya. Semakin dekat aku dengan studio musik dadakan, semakin berdebar-debar jantungku. Aku juga bisa mendengar debum musik yang teredam oleh dinding dan spons yang melapisi bagian dalam studio.
Sepulang dari pantai, aku membiarkan Papa tidur, kemudian memeriksa group chat Summer Dream yang sudah lama kutinggalkan. Setelah menanjak ratusan chat—yang selebihnya diisi obrolan tak berfaedah Lysander dan Oberon—aku menemukan chat Lysander yang menyatakan kalau hari ini ada latihan di rumah cowok itu. Seperti biasanya.
Ketika aku muncul di ambang pintu studio dadakan, debum musik keras tadi langsung lesap. Kulihat Lysander memandangku dari kursi tinggi yang biasanya kugunakan. Dia memegangi gitar, mik di depan bibirnya. Oberon di balik seperangkat drum, sedangkan Titania masih meletakan jemarinya di atas tuts keyboard.
“Hei,” sapaku. Jantungku deg-degan tak sabaran, mungkin juga jantungku ingin mencolot keluar dari dada. “Sori, gue telat.”
Lysander tersenyum kecut. “Puck, kirain lo bolos latihan.”
Aku mengedikkan bahu. “Gue .… cuma agak sibuk aja tadi.”
“Sini, masuk!” Lysander turun dari kursi tinggi, lalu beringsut ke kursi busa di seberang. Dia menggeletakkan gitarnya di sana, dan menyambar bass-nya—bass berwarna merah marun dan hitam yang lehernya panjang sekali. “Susah juga kalo nggak ada gitaris dan vokalisnya.”
Aku mendadak gugup. Kakiku mengambang di udara, bimbang antara masuk ke studio itu atau melangkah keluar dan kabur lagi.
“Apa?” Lysander menegurku yang masih di ambang pintu. Dia sendiri sudah mengambil posisi di tempatnya yang biasa. “Kami lagi latihan buat manggung Senin depan. Lo juga harus latihan! Kita nggak mau ditegur lagi sama Bos, kan?”
Aku menelan ludah dengan susah payah. Butuh perjuangan super bagiku untuk memasuki studio. Kakiku terasa seberat dua ton, gitar di punggungku terasa seberat lima belas ton. Aku nyaris tersungkur keberatan kalau tidak berjuang keras. Beberapa saat kemudian, yang rasanya sudah dua ratus abad, aku baru bisa duduk di kursi tinggi dan memposisikan gitar. Bisa kurasakan tatapan tajam Oberon dan Titania menusuki belakang dan sisi kepalaku.
“Ayo mulai lagi! Puck, kita praktik Let Me Live!” Lysander berseru. Dengan jemarinya, dia menjentik dan menghitung. “One, two, three, go!”
Musik berdentam-dentam dengan cepat di studio itu, memantul-mantul di dindingnya yang berlapis spons, menggetarkan kaleng-kaleng minuman di lantainya. Aku hanya celingak-celinguk mirip orang idiot, menatapi satu per satu temanku memainkan musik. Lagu terus mengalun, mengalun. Seharusnya sekarang lirik sudah dinyanyikan. Namun, tidak ada yang menyanyikannya.
“Tunggu apa lagi, Puck?!” Lysander memekik. “Ayo nyanyi! Nyanyi seakan lo belum pernah nyanyi sebelumnya! Keluarkan semua yang ada dalam pikiran lo! Semuanya!!”
Seperti ada sejenis sakelar di dalam tubuhku, diriku yang merupakan seorang penyanyi baru saja menyala. Aku menyanyi. Aku menyanyi seperti saat pertama kali aku menyanyi. Suaraku mengambil alih alunan musik, bergema, mendengung di telingaku sendiri. Rasanya begitu berbeda dari sebelumnya. Rasanya aku kelewat semangat sampai bisa menyanyi selamanya. Kehangatan mengalir ke tubuhku, membenamkanku dalam ingatan dan memento kebersamaan Summer Dream.
Summer Dream adalah mimpi. Summer Dream adalah kehangatan musim panas. Summer Dream adalah sebuah keluarga yang sama-sama bermimpi di tengah hangatnya musim panas. Summer Dream adalah keluargaku.