Tunes of Tomorrow yang baru—aku menyebutnya Tunes of Tomorrow V 2.0—berjalan mulus. Aku menyelesaikannya dalam dua minggu—karena aku sudah pernah menulis versi pertamanya, jadi aku menggabungkan lirik-lirik dan kunci gitar yang ada serta menambahkan yang baru. Lirik patennya sudah kutuliskan di buku catatanku. Komposisi musiknya, yang kubuat dengan aplikasi pengolah musik virtual—sudah kusimpan di ponsel dan laptop. Dengan begini, aku tidak perlu kewalahan andai ketua HMJ menagih cuplikan lagu baru itu. Teaser, begitu. Mendadak, aku merasa keren. Mungkin beginilah rasanya saat para penyanyi terkenal meng-upload teaser cuplikan single terbaru mereka.
Sore ini, setelah menyiapkan makan malam dan memandikan Papa, aku berangkat kuliah. Yah, aku tidak suka jam kuliah sore. Karena setelahnya aku harus langsung manggung. Aku tidak langsung ke kampus sore itu—aku menjemput Radha dulu. Meski status hubungan kami masih samar-samar, setidaknya sekarang aku sudah tahu bahwa Radha juga punya perasaan yang sama denganku.
“Yo!” Aku mengerem di depan Deviana’s Flowers—nama toko bunga Radha. Deviana adalah nama ibu Radha. Radha sudah berdiri di depan pintu toko, bersedekap seperti gadis yang marah karena pacarnya kelamaan menjemput. Matahari sudah mencondong ke barat, mewarnai jalanan dan wajah Radha dengan sinar oranye keemasan.
“Krishna, kamu nggak ngecek hape?” tanyanya, merengut keras sampai wajahnya penuh kerutan. “Kuliah sore ini batal.”
“Batal?” Aku merogoh saku jaketku. Tidak ada. Saku celana, kemeja, tas, bahkan sampai soft case gitarku. Ponselku tidak ada di mana-mana. “Hape gue hilang!”
Radha memutar bola matanya. “Palingan juga ketinggalan di rumah.”
Aku mengangkat bahu saja. “Ya udah. Biarin saja. Karena kuliahnya batal, mau jalan-jalan sebentar? Tanggung pulang. Nanti gue ajak lu ke tempat manggung Summer Dream.”
Radha menghela napas dan tersenyum kecil. “Boleh aja—Erik, jaga toko! Kakak mau pergi!”
“Ah, berisik!” Ada teriakan superkencang dari dalam—yang kuyakin adalah adik Radha. Gadis itu meringis padaku, lalu kami meninggalkan toko setelah adik Radha yang cemberut muncul dari pintu belakang.
***
Acara jalan-jalan kami tidak terlalu semena-mena layaknya acara jalan-jalan remaja pada umumnya. Kami cuma berkeliling kota, kejebak antrean panjang lampu lalu-lintas, lalu mampir ke kafe untuk membeli dua gelas kopi dingin kekinian dan sosis telur. Cuma camilan itu yang kami nikmati selama dua jam jalan-jalan. Tidak banyak yang kami bicarakan selama itu pula. Paling-paling kami cuma bicara yang penting-penting saja lalu tertawa canggung bersamaan. Yah, yang namanya kencan pertama sudah pasti canggung. Mungkin di kencan berikutnya bakal lebih luwes lagi. Dan akhirnya jam manggung sudah hampir tiba. Aku memutar haluan motor ke arah restoran tempatku manggung.
“Summer Dream main di sini, kan?” Radha mengamati tampak depan restoran tempatku selalu manggung. Matanya terpaku pada papan bertuliskan RESTORAN BAMBOE. Lampu kerlap-kerlip dipajang mengitari papan tulis persegi panjang yang memuat nama-nama band yang akan tampil—Fourth Wheel, Summer Dream, Delicacy Blast, LoliPop.
“Yup,” jawabku santai. Mataku bergulir ke sekitar, dan menemukan motor Lysander dan sejoli Oberon-Titania sudah ada di parkiran. “Yang lainnya udah dateng.”